Berita Terbaru

14 Sep 2006

Raja' kelapa sawit dan era keterpurukan

Raja' kelapa sawit dan era keterpurukan


Industri kelapa sawit nasional memang mengalami perkembangan menggembirakan. Terbukti dalam 20 tahun terakhir (1985-2005), pertambahan kebun kelapa sawit mencapai lima juta hektare atau meningkat 837%.

 

''Masa depan industri ini sangat cerah. Terbukti, kontribusi minyak sawit terhadap ekspor nasional mencapai 6%, komoditas ini juga nomor satu dari produksi Indonesia, dengan share 8%,'' papar Ketua Pelaksana Harian Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI) Rosediana Suharto. Jumlah nilai ekspor minyak sawit pada 2004 terhadap nilai ekspor non migas mencapai 8% atau sebesar US$54 miliar.

 

Rosediana menambahkan selama 2005, minyak sawit menjadi minyak makan terbesar di dunia. Konsumsi minyak sawit dunia mencapai 26% dari total konsumsi minyak makan dunia. Begitu juga dengan pertumbuhannya, yang mencapai 9%, lebih tinggi dibandingkan minyak soya.

 

Pasokan crude palm oil (CPO) untuk produksi dalam negeri juga meningkat menjadi 12,8 juta ton pada 2005, bila dibandingkan dengan 12,5 juta ton pada 2004. KMSI memperkirakan, pada 2010, perkebunan kelapa sawit dapat menyerap hingga 500.000 tenaga kerja dan menghasilkan 2,7 juta TBS (tandan buah segar) per tahun.

 

Industri perkebunan kelapa sawit yang lebih banyak dikelola oleh pihak swasta menunjukkan perkembangan yang pesat sejak 1990-an. "Swasta menguasai 57% perkebunan, 30% merupakan perkebunan rakyat, dan 13% perkebunan negara," jelas Wakil Presiden Direktur PT Smart Tbk. Tan Siauw Liang, pada diskusi Strategi Perkebunan Nasional di Dalam Kompetisi Global: Tantangan dan Peluang yang diadakan KMSI di Jakarta, 17 November 2003.

 

Menurut Siaw Liang, industri kelapa sawit lebih berkembang dibandingkan karet yang justru perkebunannya lebih banyak dikuasai oleh negara. Industri karet, katanya, tidak banyak memberikan kontribusi yang sebanding dengan luas perkebunan karet di Indonesia.

 

Badai krisis

 

Kendati demikian, ketangguhan industri sawit kita begitu rapuh. Sukses mendominasi industri sawit di Indonesia hingga 1997, para 'raja' kebun sawit -Salim Group, Sinarmas Group, Texmaco Group, Raja Garuda Mas, Astra Group, Hashim Group, Surya Dumai Group, Napan Group, Duta Palma Group, Bakrie Group-akhirnya terpuruk dan mengakui betapa ganasnya 'badai' krisis ekonomi.

 

Era 1998, oleh mereka, bukan hanya dijadikan tahun kurang menguntungkan. Tapi, rasa-rasanya, seperti menjadi mimpi buruk. Saat itu kondisi mereka menjadi morat-marit. Gejala mulai dilihat sejak awal 1997. Dari data Center for International Forestry Research (Cifor) bertajuk The Hesistant Boom: Indonesia's Oil Palm Sub-Sector in an Era of Economic Crisis and Political Change, dipaparkan London Sumatera (Lonsum) pada 1997, net profit (keuntungan bersih) mulai memperlihatkan tanda-tanda menurun (declined) yakni dari Rp80,6 miliar pada 1996 menjadi Rp76,5 miliar pada 1997 atau turun 5%. Pada 1998, Lonsum mencatat rekor keuntungan terburuk dengan negative net profit Rp274,6 miliar.

 

Dalam laporan tahunan 2004 Lonsum, juga disebutkan. Pada 1996, Lonsum mencatatkan saham di bursa efek untuk menggalang dana bagi pengembangan lahan barunya. Dana tambahan juga diperoleh dari pinjaman dan kreditur lainnya. Tapi, krisis moneter melanda.

 

Lonsum memikul beban utang yang mendadak membengkak dan menahan laju pengembangannya di Sumsel dan Kaltim dan berkonsentrasi pada lahan yang lebih produktif di Sumut dengan dana investasi dan perawatan yang minim.

 

Kredit Lonsum diperoleh dari Credit Agricole Indosuez, Union Bank of Switzerland dan Citicorp Financial Services Limited.

 

Hal yang sama juga dialami oleh sejumlah perusahaan-perusahaan perkebunan yang tergolong raksasa di bidangnya. Misalnya seperti PT Smart, yang merupakan anak perusahaan dari Sinarmas dan salah satu perusahaan perkebunan terbesar di Indonesia. Kala itu, mereka mencatat rugi (negative net profit) Rp87,7 miliar (1997). Padahal pada 1996, untung bersih Rp37 miliar.

 

Jelas, sangat jauh berbeda jika dibandingkan kuartal pertama 2006, di mana penjualan perusahaan ini mencatat kenaikan 17% (Rp1,14 triliun), sedangkan untuk periode yang sama pada tahun lalu Rp974 miliar.

 

Bakrie Group, juga menghadapi hal yang nyaris sama. Keuntungan Rp50 miliar pada 1997, akhirnya turun signifikan. Pada 1998, Bakrie untung Rp28,2 miliar. PT Indofood Sukses Makmur mencatat negative net profit Rp1,2 triliun, padahal 1996 mereka meraup keuntungan Rp351,3 miliar.

 

Akibat kesulitan keuangan perusahaan diawal 1998, ekspansi mulai memperlihatkan tanda-tanda menurun.

 

Di bawah rata-rata pertumbuhan perkebunan per tahun (1990-1997) yang mencapai 200.000 hektare (ha). Estimasi Oil World, Januari-Desember 1998, pertumbuhannya hanya 70.000 ha-80.000 ha.

 

Dari hitungan, pertumbuhan perkebunan Pemerintah Indonesia pada 1998 masih lebih tinggi dari angka itu.

 

Namun, tetap saja memperlihatkan tren slow down dan pemerintah mengungkapkan jumlah areal perkebunan yang ditanami hanya 177.197 ha. Jumlah itu 33% di bawah angka 1997 yang mencapai 266.565 ha.

 

Penurunan pembukaan perkebunan baru atau tidak tercapainya target perluasan kebun, karena banyak perusahaan dibebani passiva dolar AS mereka.

 

Rencana menanam

 

Sebagai contoh, PT Astra Agro Lestari yang awalnya menargetkan untuk menaman 20.000 ha per tahun, akhirnya hanya menanam 3.000 ha pada 1998. Begitu juga dengan PT Asian Agri Agro, yang rencana akan menanam 30.000 ha per tahun, hanya terlaksana 10.000 ha.

 

PT Smart yang merencanakan menanam 70.000 ha per tahun akhirnya hanya mampu menanam 20.000 ha. Lonsum, akhirnya membatalkan program penanamannya kendati lahannya sudah siap.

 

Sebagai konsekuensi, penjualan benih (seed) dari tiga produsen benih nasional-Lonsum, Socfindo dan PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit atau Oil Palm Research Centre)-menurun.

 

Penjualan seed Socfindo turun dari 17 juta pada 1997 menjadi 14 juta pada 1998. PPKS mencatat penjualan 37 juta pada 1998, padahal pada 1997 menjual 51 juta, dan pada 1999, PPKS menjual 20 juta seed.

 

Efek lanjutannya adalah menurunnya produksi palm oil Indonesia. Walaupun luasan areal yang sudah siap panen 12% di atas rata-rata, pada tahun itu produksi crude palm oil (CPO) hanya mencapai lima juta ton.

 

Jumlah tersebut 7% di bawah angka produksi 1997 yang mencapai 5,4 juta ton. Penurunan pada 1998, merupakan peristiwa terburuk pertama dalam sejarah industri perkelapasawitan Indonesia sejak 1969.

 

Sumber: Bisnis Indonesia

Logo KPBN

Contact Us

Jl. Cut Meutia NO. 11, RT. 13, RW. 05, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kode Pos. 10330

(021)3106685, (021)3907554 (Hunting)

[email protected]

PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara

Social Media

© Inacom. All Rights Reserved.