Berita Terbaru

15 Sep 2010

Ekspansi Wilmar & Lanskap Pergulaan Nasional

Ekspansi Wilmar & Lanskap Pergulaan Nasional


Akuisisi itu dengan sendirinya menandai masuknya Wilmar ke bisnis gula terutama di Asia dan Australia, secara lebih agresif. Maklum dalam 3 tahun terakhir ini Wilmar terlihat lebih memfokuskan ekspansinya ke bisnis minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya.

 

Di Indonesia, nama Sucrogen memang tak populer. Dia bukan 'samurai gula'. Namun, Sucrogen adalah pemain gula terbesar kelima dunia yang menjalankan bisnis gula dengan nyaris seluruh mata rantai produk turunannya. Prototipe inilah yang absen di Indonesia.

 

Di lini pertama yakni gula mentah (raw sugar), Sucrogen melalui anak usahanya Queensland Sugar Ltd, adalah yang terbesar di Australia dengan tujuh pabrik berkapasitas 2,1 juta metrik ton per tahun. Queensland Sugar juga pemimpin pasar ekspor gula mentah di Asia.

 

Rantai berikutnya adalah gula rafinasi (refined sugar), di mana Sucrogen menjadi produsen terbesar di Australia dengan tiga unit pabrik berkapasitas 970.000 metrik ton per tahun. Gula rafinasi Sucrogen yang bermerek CSR dan Chelsea dijual di pasar domestik dan diekspor.

 

Selain dua merek itu, melalui perusahaan patungannya dengan Mackay Sugar Ltd, Sucrogen juga memiliki hak eksklusif distribusi pemanis buatan dengan merek Equal. Wilayah pasarnya terbentang di seluruh daratan Australia dan Selandia Baru.

 

Di luar itu, perusahaan yang terdaftar di negara bagian Queensland ini, merupakan pemasok terbesar untuk produk turunan yang lain, ethanol. Untuk bioethanol, Sucrogen merupakan produsen terbesar kedua di Australia.

 

Bioetanol produksi Sucrogen yang berasal dari ampas tebu itu juga menghasilkan listrik sebanyak 171 megawatt, melebihi kebutuhan total 10 unit pabriknya. Sucrogen menjual surplus listriknya itu ke pemerintah negara bagian Queensland.

 

Bagi para pemain gula di Indonesia, selain bahwa transaksi itu merupakan yang terbesar dalam industri gula global sepanjang tahun ini, sebetulnya tidak ada yang mengejutkan dari akuisisi Sucrogen. Wilmar toh bukan pemain baru di bisnis gula.

 

Waktu eksekusinya juga tepat, karena sesuai dengan siklus musim. Pada tengah tahun itu, harga gula internasional mulai menurun, ke level US$500-an per ton untuk gula mentah dan US$560-an per ton untuk gula rafinasi, menyusul masuknya masa panen Brasil.

 

Apalagi, sejak tahun lalu, rumor bahwa perusahaan yang didirikan duo taipan William Kuok (Malaysia) dan Martua Sitorus (Indonesia) itu berencana mengembangkan perkebunan tebu dan membangun pabrik gula di Merauke sudah bertiup ke Jakarta.

 

Wajar apabila dalam mengintegrasikan bisnis gulanya, Wilmar mencaplok Sucrogen, setelah sebelumnya mengumumkan rencana membuka 200.000 hektare lahan dan membangun pabrik gula berkapasitas 8.000 ton per hari di Merauke pada 2011 dan ditargetkan beroperasi 2013.

 

Skenario besar

 

Yang mengejutkan dari aksi korporasi tersebut tak lain adalah langkah Wilmar berikutnya. Hanya beberapa pekan setelah akuisisi itu, pada akhir Agustus lalu, melalui anak usahanya Wealth Anchor Pte Ltd, Wilmar mencaplok 100% saham PT Jawamanis Rafinasi.

 

Bersamaan dengan itu, Wilmar juga mencaplok satu broker gula di Singapura, Windsor & Brook Trading. Transaksinya ditargetkan rampung akhir tahun ini. Windsor, meski perannya tak terlalu dominan, juga tercatat sebagai salah satu pedagang yang masuk ke Indonesia.

 

Sayang, kecuali menyebutkan akuisisi Jawamanis diharapkan rampung kuartal IV/2010 karena menunggu sejumlah persyaratan legal formal, Wilmar tak menginformasikan nilainya. Namun, seorang pelaku pasar gula nasional menyebutkan, nilainya sekitar US$300 juta.

 

Jawamanis adalah salah salah satu dari empat produsen gula rafinasi terbesar yang berlokasi di Cilegon, Banten. Perusahaan tertutup modal asing ini memiliki lisensi produksi hingga 1.600 ton per hari. Saat ini, produksinya baru 1.000 ton per hari.

 

Gula rafinasi Jawamanis, sesuai dengan peraturan, tidak diedarkan ke konsumen akhir, tetapi dilemparkan ke pasar industri. Pelanggannya perusahaan farmasi serta produsen makanan dan minuman domestik atau multinanasional.

 

Perlu diingat, Indonesia adalah satu-satunya negara yang membedakan pengertian gula rafinasi dengan refined sugar. Rumusan yang diikuti pembedaan nomor HS produk itu termasuk peruntukan pasarnya. Tujuannya untuk melindungi petani dari fluktuasi harga.

 

Sekitar 2 bulan sebelum akuisisi tersebut, Wilmar meneken kesepakatan pembentukan perusahaan patungan dengan Elevance Renewable Sciences Inc (Inggris). Perusahaan itu akan membangun fasilitas biorefinery yang berskala global di Surabaya, Jawa Timur.

 

Sekadar informasi, Wilmar yang paruh pertama lalu membukukan laba bersih US$745,9 miliar, tengah membangun kompleks pabrik terintegrasi di Surabaya senilai Rp5 triliun. Di kompleks itulah nanti instalasi biorefinery tersebut akan dipasang.

 

Dalam kerja sama joint venture itu sendiri, Elevance menyediakan teknologi biorefinery yang menghasilkan produk oleokimia dan biofuel dengan performa kimiawi bernilai tinggi seperti antimikrobia, pelumas, surfactant, serta biodiesel dan bahan bakar jet terbarukan.

 

Menurut rencana, kapasitas awal biorefinery itu 180 kMT atau sekitar 400 juta pon, dan kelak akan ditingkatkan menjadi 360 kMT atau setara 800 juta pon. Fasilitas itu dibangun 2011, dan akan menyerap berbagai produk nabati seperti sawit, kedele, jarak, dan tentu saja, tebu.

 

Akuisisi Jawamanis, yang diikuti Windsor, juga proyek biorefinery di Surabaya yang disusul pembelian Sucrogen, dengan sendirinya merangkai skenario besar Wilmar dalam menggarap bisnis gula di Indonesia. Sebuah langkah awal yang paling mudah ditebak.

 

"Akuisisi Jawamanis adalah bagian dari rencana integral Wilmar untuk membangun masa depan bisnis gula di Indonesia. [Jawamanis] sekaligus menjadi unit pengolah dan distributor terkait dengan rencana proyek kami di Papua," demikian pernyataan resmi Wilmar.

 

Sampai di sini, kita tahu, dibandingkan dengan grup lain seperti Salim, Bakrie, Rajawali, atau BUMN, Wilmar yang didukung lebih dari 300 unit bisnis dan jaringan distribusi di lebih dari 50 negara adalah korporasi yang paling siap menjemput masa depan bisnis gula Indonesia.

 

Karena itu, pertanyaannya di sini, apakah kehadiran Wilmar di kancah pergulaan nasional kelak mengubah lanskap oligopoli perdagangan gula petani (white sugar plantation) yang berpijak pada inefisiensi, ilusi produktivitas, serta paradoks harga gula internasional?

 

Ilusi produktivitas

 

Sebelum terlalu jauh, mungkin baik apabila pokok menyangkut inefisiensi, ilusi, dan paradoks tersebut dielaborasi terlebih dahulu. Perlu segera ditambahkan, white sugar plantation adalah definisi pemerintah untuk gula konsumsi publik seperti halnya refined sugar di luar negeri.

 

Harus diakui, meski tak bisa dikatakan signifikan, kebijakan tata niaga gula yang diluncurkan 8 tahun silam memang mendongkrak produksi gula pabrik BUMN. Kali pertama kebijakan itu diluncurkan, produksi gula baru 1,8 juta ton, dan kini sudah 2,2 juta ton.

 

Namun, prestasi itu berpijak pada insentif harga, baik melalui pematokan harga terendah maupun larangan impor saat panen. Pijakan lain yang justru inti pengembangan kebun dan produksi gula, yakni reorganisasi tanam dan revitalisasi pabrik, tidak mendapat tempat.

 

Yang terjadi kemudian adalah kian ketatnya kompetisi lahan kering. Peningkatan produksi gula yang berhasil dicapai itu akhirnya lebih didorong oleh perluasan areal lahan tebu, yang otomatis menurunkan luas area tanaman kering lain, terutama padi.

 

Tentu saja itu tidak salah. Namun, situasi inilah yang menjelaskan kenapa dalam rezim tata niaga gula, tingkat rendemen atau kadar gula dalam tebu masih berfluktuasi ±1% di level 6%-8%, sementara produksi white sugar plantation justru naik 15%-20%.

 

Absennya perbaikan reorganisasi tanam dan revitalisasi di pabrik gula BUMN itu pula yang ikut menyebabkan kenapa dari tahun ke tahun biaya produksi pabrik BUMN terus meningkat, bahkan nyaris 100% lebih tinggi dari pabrik swasta seperti Sugar Group Companies.

 

Sementara itu, pabrik gula swasta dapat menjaga biaya produksinya di level rendah hingga terus mengakumulasi laba, karena atas nama kebijakan tata niaga, pabrik swasta bisa menjual gulanya pada harga tinggi sesuai dengan harga yang dibentuk inefisiensi pabrik BUMN.

 

Di sisi lain, insentif harga dari tata niaga yang ongkosnya ditalangi sepenuhnya oleh para pedagang gula di rantai pertama-karena pemerintah tak mau menyubsidi-mengakibatkan struktur perdagangan gula nasional menjadi oligopolis alias miskin koreksi.

 

Sebaliknya, manajemen pabrik gula BUMN yang bekerja sama dengan para 'samurai gula', beroleh lisensi impor gula dan menikmati marginnya tanpa harus banyak kerja. Pemerintah, di ujung sana, bisa duduk tenang karena petani tidak ribut dan produktivitasnya tidak menurun.

 

Struktur yang dibentuk lingkaran inilah yang akhirnya menjelaskan paradoks kenaikan harga gula internasional sebagai faktor pengerek harga gula dalam negeri. Sebab faktanya saat harga gula internasional turun seperti sekarang, harga gula dalam negeri tetap saja tinggi.

 

Kebijakan tata niaga gula, singkatnya, adalah solusi ad hoc praktis yang menguntungkan petani, pabrik BUMN, pedagang, dan pemerintah-di tengah kegamangan mengambil risiko untuk memutuskan kebijakan pergulaan yang langsung menusuk ke inti persoalan.

 

Dalam lanskap seperti ini-ketika pokok menyangkut reorganisasi tanam dan revitalisasi pabrik tidak diselesaikan dan struktur oligopoli perdagangan gula masih dipertahankan-apa yang bisa dimainkan Wilmar? Ada tentu, meski mungkin tidak banyak.

 

Wilmar, Salim, Bakrie, atau Rajawali, niscaya tidak berbeda dengan Sugar Group. Mereka akan cenderung untuk mengambil jarak dengan hiruk pikuk tata niaga, dan memilih sibuk menimbun laba. Mereka hanya akan memperbanyak contoh naifnya policy pergulaan kita.

 

Oleh      : Bastanul Siregar

Sumber : Bisnis

Logo KPBN

Contact Us

Jl. Cut Meutia NO. 11, RT. 13, RW. 05, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kode Pos. 10330

(021)3106685, (021)3907554 (Hunting)

humas@inacom.co.id

PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara

Social Media

© Inacom. All Rights Reserved.