Berita Terbaru

15 May 2007

Asian Agri Dikenai Sanksi Pajak. Membayar Rp 3,145 Triliun dan Lima Direksi Ditetapkan Jadi Tersangka

Asian Agri Dikenai Sanksi Pajak. Membayar Rp 3,145 Triliun dan Lima Direksi Ditetapkan Jadi Tersangka

Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution di Jakarta, Senin (14/5), menyebutkan, kelima anggota direksi itu berinisial LA, WT, ST, TBK, dan AN. Mereka adalah penanggung jawab 14 perusahaan yang berada dalam kelompok Asian Agri. Kelimanya ditetapkan sebagai tersangka karena terbukti menandatangani surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak yang direkayasa.

 

"Pemeriksaan dilakukan di 15 perusahaan di bawah Asian Agri, tetapi satu di antaranya tidak memiliki kegiatan lagi sehingga fokus pemeriksaan diarahkan pada 14 perusahaan," katanya.

 

Hasil pemeriksaan atas ke-14 perusahaan itu menunjukkan adanya bukti permulaan tindak pidana perpajakan yang dilakukan kelompok usaha tersebut. Bukti awal itu meliputi, pertama, penggelembungan biaya dalam laporan keuangan perusahaan sebesar Rp 1,5 triliun. Kedua, menggelembungkan kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. Ketiga, mengecilkan hasil penjualan senilai Rp 889 miliar. Atas dasar laporan yang salah itu, maka SPT yang disampaikan Asian Agri merupakan SPT yang keliru.

 

Kesalahan pelaporan SPT itu sudah cukup untuk menjerat kelima anggota direksi dengan ancaman pidana perpajakan berupa penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi empat kali jumlah pajak terutang, yang tidak atau kurang dibayar. Sanksi itu ditetapkan dalam Pasal 39 Ayat 1c dan 43 Ayat 1 Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

 

Digali lebih dalam

 

Total laba kena pajak yang hilang akibat penggelembungan biaya, kerugian ekspor, dan pengurangan hasil penjualan adalah Rp 2,621 triliun. Negara seharusnya memperoleh pendapatan Pajak Penghasilan (PPh) senilai Rp 786,3 miliar karena tarif PPh-nya 30 persen. Namun, karena dijerat dengan sanksi yang diatur dalam Pasal 39 Ayat 1c UU KUP, total pajak yang harus dibayar adalah empat kali lebih besar dari tunggakan pajak sebenarnya, yakni Rp 3,145 triliun.

 

Darmin mengatakan, pemeriksaan itu baru dilakukan atas SPT tahun anggaran 2002-2005. SPT tahun anggaran 2006 belum diperiksa karena belum diserahkan oleh pihak Asian Agri.

 

"Kalau ternyata SPT 2006 juga tidak benar, kami akan menggali pelanggaran pajak hingga 10 tahun ke belakang. Karena, UU KUP yang digunakan adalah UU KUP lama yang menetapkan masa kedaluwarsa pajak adalah 10 tahun (dalam UU KUP baru ditetapkan lima tahun)," ujarnya.

 

Jumlah tersangkanya akan bertambah karena dalam Pasal 49 Ayat 1 UU KUP disebutkan, yang dikenai sanksi pajak tidak terbatas kepada wajib pajak (WP), kuasa WP, tetapi meluas hingga pemberi perintah penggelapan pajak hingga yang membantu melakukan pelanggaran. "Sementara ini, jumlah saksi ditetapkan 30 orang. Jumlah itu masih akan bertambah lagi," lanjutnya.

 

Direktur Intelijen dan Penyidikan Pajak Mochamad Tjiptardjo menegaskan, pemeriksaan bisa diperluas hingga ke pemilik kelompok usaha Asian Agri. Kelima tersangka itu sudah masuk daftar pencekalan yang sudah diajukan oleh Ditjen Pajak kepada Ditjen Imigrasi.

 

"Saat ini memang belum menyentuh pemilik usahanya atau pemilik sahamnya, tetapi itu bukan tidak mungkin dilakukan. Kami akan mengembangkan kasus ini, dimulai dari kelima tersangka itu," ujarnya.

 

Ketika dikonfirmasi, Corporate Communication Manager Asian Agri Rudy Victor Sinaga mengatakan, sampai saat ini belum ada informasi apa pun dari manajemen menanggapi pengumuman Dirjen Pajak itu.

 

Ketika pers menanyakan apakah ada upaya advokasi hukum terhadap anggota direksi yang ditetapkan sebagai tersangka, Rudy mengaku belum mengetahuinya. "Kami belum bisa berkomentar saat ini karena masih menunggu sikap manajemen."

 

Sumber: Kompas

Logo KPBN

Contact Us

Jl. Cut Meutia NO. 11, RT. 13, RW. 05, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kode Pos. 10330

(021)3106685, (021)3907554 (Hunting)

[email protected]

PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara

Social Media

© Inacom. All Rights Reserved.