09 Oct 2009
Demikian dikatakan Sekretaris Kementerian BUMN Mohamad Said Didu kepada wartawan di Jakarta, Jumat (2/10). "BUMN Perkebunan memperoleh pertumbuhan pendapatan paling besar selama kurun waktu 2004-2008. Adapun penyebab utamanya bisa dimengerti mengingat terus membaiknya harga komoditas perkebunan," jelasnya.
Selain perkebunan sektor BUMN yang menempati posisi kedua, peroleh pendapatan paling besar sekitar 260% adalah dari sektor pertambangan. "Pertambangan menempati posisi kedua dengan peningkatan pendapatan mencapai 260%, dengan dukungan utama dampak kenaikkan harga komoditas," jelasnya.
Posisi ketiga ditempati BUMN yang bergerak dalam kegiatan sarana dan prasaran angkutan seperti BUMN pelabuhan, Bandara, sekitar 200%. Tempat ke empat diisi oleh BUMN sektor Perbankan, dengan total peningkatan pendapatan bersih sejak 2004 sampai 2008 sekitar 110%.
Sementara untuk posisi kelima diisi oleh BUMN yang bergerak dalam bidang telekomunikasi dengan peningkatan pendapatan sebesar 61%. "Intinya, kelima sektor BUMN ini selama periode 2004-2008 selalu memperoleh peningkatan pendapatan yang lumayan besar," terangnya.
Sumber : www.inilah.com
---------------------------------------
BISNIS TEH PTPN VIII RAUP Rp 23 MILIAR
Friday, 28 August 2009
Setelah sempat merugi sampai puluhan miliar rupiah dalam dua tahun terakhir, bisnis teh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII kini mulai kembali mendatangkan untung. Perkembangan tersebut diharapkan mampu bermanfaat positif untuk memotivasi dan membangkitkan kembali usaha dan serapan teh rakyat di Jabar.
Sekretaris Perusahaan PTPN VIII, Tri Bagus Santoso, di Bandung, Kamis (27/8) mengatakan, untuk kuartal I 2009 PTPN VIII sudah mampu menghasilkan keuntungan Rp 23 miliar dari usaha teh. Kendati keuntungan tersebut sebenarnya masih di bawah target, sejauh ini sudah mampu menjadikan motivasi dan perkembangan yang memberikan harapan bagi usaha teh PTPN VIII.
"Kembali diperolehnya keuntungan usaha dari produksi teh, lebih banyak disebabkan efisiensi usaha dan pengelolaan lebih cermat. Selain itu, dilakukan pembukaan-pembukaan pasar baru, baik secara mandiri maupun kerja sama dengan pihak lain," katanya.
Disebutkan, manajemen PTPN VIII sebenarnya baru akan melihat untung atau tidaknya usaha dari produksi teh setelah setahun ke depan. Saat ini masih perlu kerja keras untuk meningkatkan usaha dan kinerja usaha, bukan hanya dari teh namun juga berbagai komoditas lain.
Sementara itu, Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia PTPN VIII, H. Dadi Sunardi, sebelumnya, mengatakan dari tahun ke tahun, PTPN VIII selalu menargetkan peningkatan pembelian pucuk teh rakyat. Jika usaha teh PTPN VIII mampu bangkit, manfaatnya memang harus ikut dirasakan bagi para petani teh.
"Dengan kombinasi produksi dari kebun sendiri dan tambahan pembelian pucuk teh dari petani, kami berharap adanya situasi yang saling mendukung untuk saling memberikan keuntungan baik bagi perusahaan maupun petani di sekitar kebun. Pulihnya usaha teh dari PTPN VIII, agar dapat ikut memotivasi usaha teh rakyat," katanya.
Wakil Ketua Asosiasi Petani Teh Jabar (Apteh) Jabar, Endang Soparie, mengatakan, ditetapkannya kenaikan harga beli pucuk teh rakyat oleh PTPN VIII, dinilai merupakan situasi yang baik. Kendati masih diandalkan oleh petani teh yang tergabung dalam Koperasi Cikal Corporate Farming, diharapkan mampu kembali menggairahkan usaha teh rakyat.
Disebutkan, membaiknya iklim usaha teh di PTPN VIII memang pengaruhnya sering dijadikan tolok ukur bagi usaha teh rakyat, apalagi Jabar sampai kini menjadi sentra usaha teh nasional. (A-81) ***
Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Jum'at 28 Agustus 2009
--------------------------------------------------------
Pikiran Rakyat, Selasa, 02 Agustus 2005
Model "Sabilulungan" Teh Rp 530 Miliar
Oleh Agus Pakpahan
APA dan siapa kita, tergantung dari apa yang kita pikirkan dan apa yang bisa kita capai, tergantung dari sampai sejauh mana kita memanfaatkan pikiran tersebut dalam wujud amal perbuatan.
Ukuran objektif dari apa yang kita pikirkan dan apa yang kita amalkan, itu dapat dilihat dalam intensitas dan jumlah waktu yang kita gunakan untuk memikirkan dan mengamalkan dari semua yang kita pikirkan.
Dengan tersedianya jumlah waktu yang terbatas, yaitu 24 jam per hari untuk siapa saja, maka kita bisa mengukur diri apakah waktu tersebut sudah kita gunakan sebaik dan setepat mungkin.
Karena itu, kesabaran menggunakan waktu bukan diukur oleh ketahanan menunggu sesuatu secara pasif, tetapi ketahanan atau keuletan kita untuk mencapai hasil terbaik dari setiap apa yang kita pikirkan dan amalkan sejalan dengan perjalanan waktu itu.
Pada kesempatan ini, penulis ingin berbagi pemikiran sebagai wujud pemanfaatan waktu, yang dipusatkan pada upaya untuk mencari berkah dari perkebunan teh yang sudah menjadi warisan sejarah kita dewasa ini.
Persoalan dipusatkan pada menjawab pertanyaan: apa yang harus kita lakukan apabila kita ingin mendapatkan manfaat yang lebih besar dari teh ini? Lebih spesifik lagi: apa dan bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh tambahan pendapatan dari ekspor teh senilai Rp 530 miliar per tahun?
Angka Rp 530 miliar ini merupakan perkiraan kehilangan kita pada tahun 2004, yaitu hasil perkalian antara volume ekspor teh sekira 100 ribu ton dengan selisih harga teh kita dengan harga teh di pasar internasional yaitu 0,53 dollar/kg.
Nilai kehilangan ini sangatlah besar, yaitu sekira 49,5% dari total penerimaan ekspor teh
Model sabilulungan teh Rp 530 miliar dalam tulisan ini digunakan sebagai istilah yang memusatkan perhatian kita semua untuk menciptakan nilai teh yang hilang selama ini, melalui perjuangan bersama agar harga teh
Sering disampaikan bahwa harga adalah hasil interaksi antara penawaran dan permintaan. Penjelasan ini belumlah cukup mengingat kita harus menguji lebih jauh lagi apa di belakang permintaan dan penawaran tersebut. Pengetahuan mengenai hal ini merupakan pengetahuan awal yang diperlukan dalam membangun strategi, kebijaksanaan dan langkah-langkah operasional yang akan dilaksanakan.
Pengetahuan mengenai rendahnya harga teh kita yang jaraknya jauh dari harga rata-rata teh di pasar internasional sejak 1991, menunjukkan bahwa posisi dan kekuatan bersaing teh kita di pasar internasional sangatlah lemah. Pengalaman selama 14 tahun ini tentunya sudah memberikan pelajaran apakah kelemahan kita itu, misalnya, akibat dari lemahnya teknologi, manajemen atau ada hal lain. Pertanyaannya: Mengapa selama 14 tahun kita belum bisa dan kuat mengatasi masalah tersebut?
Apa pun yang menjadi penyebab kita belum mampu mengatasi masalah tersebut, solusinya sudah dapat dipastikan tidak dapat ditangani sendiri, misalnya, oleh PTPN VIII. Namun, mengingat PTPN VIII ini mendominasi produksi teh
Oleh karena itulah posisi, peran, dan fungsi PTPN VIII sangatlah strategis. Salah satu strategi yang harus dikembangkan oleh PTPN VIII adalah mengembangkan model sabilulungan (community corporate), yaitu model yang didasarkan atas kekuatan bersama dari seluruh elemen masyarakat Jawa Barat. Sasaran utama dari model ini adalah mewujudkan masyarakat perkebunan teh Jawa Barat sebagai masyarakat teh berkelas dunia. Hal ini penting mengingat hanya dengan mencapai kelas dunia tersebut produk teh kita akan mampu bersaing di pasar dunia.
Untuk membentuk masyarakat teh Jawa Barat berkelas dunia diperlukan langkah-langkah berikut: pertama, mewujudkan masyarakat pertehan berkelas dunia untuk menghasilkan produk teh dengan kualitas yang terbaik di dunia. Kualitas bukanlah produk individu, melainkan produk masyarakat. Perusahaan perkebunan harus mampu menghasilkan produknya yang terbaik, dan demikian juga hasil teh para petaninya. Mengingat kualitas ini merupakan produk masyarakat, kondisi awal yang harus dibangun adalah kondisi masyarakat yang cinta mendahulukan arti kualitas dalam arti yang mendalam dan luas. Untuk itu, kerja sama dan sekaligus juga persaingan untuk mencapai hasil yang terbaik perlu terus dipupuk.
Jadi, menurut cara pandang ini membangun perkebunan adalah membangun masyarakat perkebunan berkelas dunia, sedangkan teh hanyalah sebagai alat perjuangan dari masyarakat untuk mencapai wujud tersebut. Untuk mencapai tersebut diperlukan adanya cita-cita dan harapan yang sama dari seluruh masyarakat pertehan Jawa Barat pada khususnya dan masyarakat pertehan Indonesia pada umumnya.
Kedua, mengembangkan proses dan sistem komunikasi serta berlatih dengan tekun dan sungguh-sungguh untuk mencari dan mendalami permasalahan yang dihadapi dan merumuskan "mantra", cara dan substansi apa yang menjadi sasaran bersama yang menjadi makna dan keinginan bersama.
Untuk diwujudkan sebagai tolok ukur masyarakat berkelas dunia dan produknya yang berkelas dunia pula. Istilah civic entrepreneur untuk menggambarkan bahwa setiap pemimpin atau tokoh masyarakat memiliki karakter entrepreneur sebagaimana yang sekarang ini dipahami, tetapi ia menerjemahkan entrepreneurship tersebut bukan sekadar mencari keuntungan, melainkan sebagai perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.
Dalam pandangan ini, baik perusahaan maupun pemerintahan atau wujud institusi lainnya adalah dipandang sebagai sarana untuk meningkatkan jenjang kemajuan bersama sebagai satu masyarakat. Kita memang harus bergerak cepat, tetapi senantiasa ingat "si lumpuh" di belakang ingin hidup, dijadikan sebagai prinsip.
Dengan menggunakan dasar pemikiran di atas, masyarakat bukan hanya akan menjadi lebih bergairah, tetapi juga akan hidup dan berkembangnya energi sosial dan sinergi regional dan nasional. Dari sinilah akan berkembang proses munculnya kekuatan yang berintikan pada energi yang hidup dalam seluruh lapisan masyarakat, ibarat munculnya gelombang di lautan yang bersumber pada gerakan air yang sebelumnya hanyalah suatu gerakan yang lemah.
Ketiga, kita pusatkan lahir-batin kita pada satu titik, yaitu menujudkan Rp 530 miliar atau lebih tambahan pendapatan dari teh per tahun, yang selama ini hilang begitu saja. Pemusatan seluruh kekuatan lahir batin ini sangat diperlukan untuk membangkitkan energi sosial dan sinergi masyarakat secara keseluruhan. Silih-wangi yang mengandung arti saling mengharumkan merupakan nilai yang perlu dikembangkan untuk menciptakan Kujang sebagai singkatan kesatuan umat jangka panjang, yang akan menjadi landasan bagi berkembangnya energi sosial dan sinergi masyarakat tersebut.
Dengan modal sosial dan kultural ini, maka kekuatan akan terwujud sehingga kita akan bisa dan kuat untuk menciptakan nilai tambah teh sebesar Rp 530 miliar/tahun atau lebih.
Kelompok civic entrepreneurs perlu berkembang di berbagai bidang, termasuk dalam urusan memberikan motivasi kepada masyarakat, mengembangkan jaringan, berperan sebagai guru, mengembangkan nilai dan institusi baru, mengintegrasikan elemen-elemen sistem yang saling berhubungan, menjalankan peran "sopir" dalam masyarakat, dan memainkan peran sebagai tokoh pembaru. Hal tersebut berlaku baik dalam bidang dunia usaha, pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, polisi dan kejaksaan, alim ulama, dan sebagainya.
Model sabilulungan sebagaimana yang diuraikan hanya akan menjadi kenyataan yang akan memberikan pertambahan nilai yang sangat besar yang dapat diraih melalui teh apabila kita semua bisa dan kuat menjadi pelita dalam pertehan yang sedang berada dalam kegelapan. Dan ini hanya akan terwujud apabila kita bisa dan kuat membela kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Teh adalah medan perjuangannya. Apa dan siapa kita, tergantung dari apa yang kita pikirkan dan apa yang bisa kita capai, tergantung dari sampai sejauh mana kita memanfaatkan pikiran tersebut dalam wujud amal perbuatan. Mari kita ber-sabilulungan
Penulis Mantan Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian.
-------------------------------------------
Kompas, Sabtu, 10 April 2004
SOS, Teh Indonesia!
TEH merupakan bagian budaya yang sudah berusia ribuan tahun. Diyakini bahwa teh ini berasal dari Negeri China. Konon pada zaman Kaisar Shen Nung (2737 SM), secara tidak sengaja selembar daun jatuh dan masuk ke dalam rebusan air dan terseduh oleh Sang Kaisar. Daun tersebut adalah daun teh dan Kaisar merasakan nikmatnya air seduhan tersebut. Setelah itu, teh mulai dikenal dan menyebar luas.
CERITA teh di Indonesia berawal dari Andreas Cleyer. Pada tahun 1686 ia membawanya ke Indonesia untuk tanaman hias. Lalu, 42 tahun kemudian, yaitu tahun 1728, Belanda mulai tertarik terhadap teh dan mulai mendatangkan benih teh dari China untuk dibudidayakan di Pulau Jawa.
Tahun 1824 Van Siebold melanjutkan upaya pengembangan teh yang benihnya berasal dari Jepang. Usaha perkebunan teh pertama di Indonesia dipelopori oleh Jacobson pada 1828. Teh mulai berkembang dan memberikan keuntungan bagi Belanda. Gubernur Van Den Bosh menjadikan teh sebagai salah satu komoditas Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Jawa Barat-lah yang menjadi pusat teh di Indonesia.
Sekarang teh sudah menjadi bagian dari kebudayaan dunia, minum teh adalah tradisi yang bukan hanya bersifat "ritual", "spiritual", tetapi dalam kehidupan beberapa golongan masyarakat di negara lain, sudah menjadi simbol kehidupan "glamor".
Sejarah panjang ini tentu memberikan makna besar bagi bangsa Indonesia. Data pada 2002 menunjukkan bahwa luas areal teh di Indonesia sudah mencapai lebih dari 157.000 hektar, yang terdiri atas perkebunan teh milik BUMN sekitar 49.000 hektar, swasta 43.000 hektar, dan petani 66.000 hektar. Sekitar 70-80 persen perkebunan teh ini berada di Jawa Barat, tanah Pasundan.
Pada 2002 Indonesia memproduksi 172.700 ton teh dari produksi dunia 3,05 juta ton. Jadi, pangsa (share) Indonesia 5,6 persen. Sebagai perbandingan, produksi negara lain, seperti India 826.200 ton, China 745.400 ton, Sri Lanka 310.600 ton, dan Kenya 287.000 ton (International Tea Committee, 2003).
Teh merupakan komoditas ekspor Indonesia, khususnya Jawa Barat. Pada tahun 2002 nilai ekspor teh Indonesia mencapai 103,4 juta dollar AS, dengan volume ekspor 94.700 ton untuk teh hitam dan 5.500 ton teh hijau. Tahun 1993 nilai ekspor teh Indonesia ini mencapai 155,7 juta dollar dengan volume ekspor 123.926 ton. Pada 1998 nilai ekspor teh Indonesia menurun menjadi 113,2 juta dollar dengan volume 67.219 ton.
Data ini menggambarkan bahwa penerimaan devisa dari ekspor teh Indonesia ternyata menurun dari 1993 dan 1998. Yang paling mengkhawatirkan adalah data 1998-2002, di mana volume ekspor meningkat 33.000 ton, tetapi pendapatan menurun 9,8 juta dollar atau Rp 83,3 miliar dalam empat tahun.
Tabel 1 mencoba memberikan gambaran melalui perbandingan kinerja antara Sri Lanka dan Indonesia dalam bidang pertehan ini. Data inilah yang mengungkapkan bahwa teh Indonesia berada dalam situasi gawat (SOS).
Hal ini diperlihatkan oleh, pertama, harga teh Sri Lanka selalu lebih tinggi daripada harga teh Indonesia dengan selisih terendah 0,6 dollar (1993) dan tertinggi 1,38 dollar (1996) per kilogram. Pada tahun 2002, selisih harga 1,21 dollar per kilogram.
Setelah tahun 1996, harga teh Sri Lanka selalu di atas 2,24 dollar per kilogram, sedangkan harga teh Indonesia pada periode yang sama sekitar 0,99- 1,68 dollar per kilogram. Harga teh Sri Lanka 48-130 persen lebih tinggi dari harga teh Indonesia (1993-2002). (Sebagai catatan, data harga ini merupakan hasil perhitungan nilai ekspor dibagi oleh volume ekspor, jadi bukan data transaksi).
Kedua, volume ekspor teh Sri Lanka relatif meningkat terus. Pada tahun 1993 ekspor Sri Lanka 209.942 ton, dan tahun 2002 menjadi 285.985 ton. Volume ekspor Indonesia berfluktuasi cukup tajam. Hal ini menandakan bahwa kontinuitas ekspor Indonesia lemah.
Ketiga, nilai ekspor teh Sri Lanka naik terus sejalan dengan kenaikan volume ekspor, tetapi nilai ekspor Indonesia fluktuatif. Bahkan, kenaikan volume ekspor teh Indonesia tidak selalu diikuti oleh kenaikan pendapatan dari ekspor ini. Contoh: volume ekspor Indonesia pada 1998 sebanyak 67.219 ribu ton memberikan pendapatan 113,2 juta dollar, tetapi dengan volume ekspor teh sebanyak 100.185 ribu ton (2002) memberikan pendapatan lebih rendah, yaitu 103,4 juta dollar AS.
Fluktuasi volume ekspor dan harga yang selalu lebih rendah, dan rendahnya harga itu jauh dari apa yang dicapai Sri Lanka, tentu menyembunyikan banyak persoalan. Persoalan tersebut bukan hanya terletak pada aspek budidaya teh, tetapi tentu lebih mendasar lagi. Hal ini didasari oleh argumen bahwa daya saing suatu produk tidak hanya terbatas pada aspek teknis saja, tetapi lebih luas daripada itu.
BANYAK teori atau pendapat tentang bagaimana kita dapat meningkatkan daya saing di pasar global. Di antaranya adalah dengan membaca dalam buku The Marketing of Nations karya Philip Kotler et al ( 1997) atau buku Creating Wealth karya Lester Thurow (1999) dan buku Lester Thurow (2003) Fortunes Favors The Bold.
Namun, apakah kita mampu membangun daya saing itu, pada akhirnya kembali pada kita sendiri. Apakah kita mau dan bisa membangun diri kita sendiri, masyarakat pertehan Indonesia, khususnya masyarakat pertehan Jawa Barat. Pihak lain hanyalah pihak yang hanya sampai sebatas membantu, bukan yang utama.
Apabila kehancuran teh Indonesia dibiarkan terjadi, dampaknya akan sangat luas. Bukan hanya ribuan petani kehilangan pekerjaan, para pekerja perkebunan kehilangan penghasilan, tetapi negara secara keseluruhan juga akan mengalami kerugian yang sangat besar.
Kerugian yang paling besar adalah kehilangan kepercayaan diri itu sendiri (social capital) yang sangat penting. Satu mata rantai budaya yang telah tumbuh di Indonesia bersamaan dengan berkembangnya teh selama ini akan punah. Apalagi yang dapat diceritakan oleh generasi kita kepada generasi selanjutnya, kecuali ketidakmampuan kita melanjutkan kejayaan masa lalu, yang sekaligus juga menjadi dan memberikan beban kepada anak-cucu kita.
SOS...SOS& siapa yang bisa menolong teh ini?
Agus Pakpahan, Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia
---------------------------------------------
MEMBALIK ARUS DAN GELOMBANG SEJARAH
Sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga, termasuk di dalamnya betapa dahsyatnya kekuatan dari dalam yaitu kekuatan rakyat. Pada bulan Maret 1602, atau 401 tahun yang lalu. Belanda melakukan reinterpretasi dan rekreasi institusi perdagangannya dengan menciptakan VOC. Institusi ini merupakan jalan dan sekaligus kendaraan untuk Belanda menjadi besar dengan sumber kekuatan yang ada ribuan mil dari Netherland yaitu Nusantara.
Dengan segala kekuatan yang ada, Belanda berhasil memonopoli perdagangan hasil bumi yang nilainya waktu itu luar biasa. ltu semua adalah hasil kerja petani. Falsafah merchantilism menjadi dasar operasional perdagangan. Mengangkut barang mentah sebanyak-banyaknya dan mengolah di negeri Belanda yang menjadi tujuan perdagangan. Kita dapat menyaksikan bahwa hingga sekarang masih berlaku falsafah tersebut, yaitu bekas negara-negara jajahan hanyalah sebagai pemasok bahan baku saja. Kelihatannya ini pula yang masih menjadi falsafah perdagangan global dewasa ini.
Wujud nyata dari falsafah tersebut adalah dapat kita baca dari institusi perdagangan dunia. Unilever, Monsanto, Cargill, Nestle dan sejenisnya merupakan institusi perdagangan internasional yang mengolah hasil petani, termasuk hasil pertanian dari negara-negara berkembang. Indofood, merupakan perusahaan multinasional Indonesia, yang mengolah juga hasil pertanian, namun bahan bakunya gandum didatangkan dari luar negeri.
Adapun BUMN di bidang pertanian, seperti PTPN menghasilkan produk yang sama dengan yang dihasilkan petani, atau hanya menghasilkan industri primer saja. Asosiasi perdagangan hasil pertanian seperti AEKI, AELI, GAPKINDO, dan sejenisnya juga belum banyak memberikan kontribusi terhadap para petani dimana mereka mendapatkan keuntungan dan menjual hasil para petani. Pola perdagangan kita juga dapat dikatakan masih tertinggal. Bahkan, para pedagang luar negeri masuk ke desa-desa untuk membeli bahan baku dan kita kalah bersaing dengan mereka. Investasi di bidang agroindustri juga dapat dikatakan belum sepadan. Karena itu, ekonomi tidak mengalir, atau hanya mengalir tapi langsung ke laut lepas.
Data selama puluhan tahun atau lebih lama lagi menunjukkan bahwa harga-harga riil produk primer, termasuk produk primer pertanian cenderung menurun terus dengan tingkat fluktuasi yang relatif besar. Tidak demikian halnya dengan produk hasil olahan, harga riilnya relatif stabil atau kecenderungannya meningkat. Banyak peneliti telah memperlihatkan kondisi ini, misalnya Barnett dan Morse (1963), Nordhaus (1974), Proudley (1987), Trengove (1986) dan Grilli dan Yang (1988). Bahkan Grilli dan Yang menunjukkan bahwa harga-harga relatif dari produk primer terhadap produk olahan menurun dengan laju 0,5 persen per tahun selama 1870-1980.
Pola ini menyebabkan divergensi kemakmuran antara penghasil produk primer yang hampir seluruhnya petani dengan para pedagang atau prosesor, dan divergensi antara negara-negara berkembang sebagai pengekspor bahan baku dengan prosesor dan pedagang di negara maju. Jeff Sachs secara kuantitatif telah menunjukkan fenomena ini, yaitu telah terjadi kesenjangan yang makin lebar antara pendapatan per kapita negara-negara berkembang yang pada umumnya berada di daerah iklim tropika dengan negara maju yang hampir seluruhnya berada di daerah dengan iklim temperate.
Fenomena di atas telah menunjukkan kepada kita tentang situasi dunia dalam kurun waktu yang relatif lama. Cita-cita dunia untuk menjadi satu masyarakat dunia yang tingkat kesejahteraannya relatif adil belum terwujud, bahkan kecenderungan yang sebaliknya akan terjadi. Secara agregat memang tingkat kesejahteraan meningkat, namun pada saat yang bersamaan juga kemiskinan meningkat, kesenjangan meningkat dan ditambah lagi dengan kerusakan lingkungan hidup yang makin parah.
Keseluruhan karakter buruk (badness) dari masyarakat tersebut sebagian terbesar berada di negara-negara berkembang, khususnya di Asia dan Afrika. Fenomena ini juga sudah menjadi perhatian dunia dan mencari upaya untuk mengatasinya, misalnya, MIT secara khusus membentuk sebuah Tim untuk mencari solusi masalah ini.
Atas dasar realitas sebagaimana diuraikan, maka kita tidak dapat mengikuti flow tau arus gerak ekonomi dunia apabila kita ingin mendapatkan nilai tambah dari misi kehidupan di tanah Nusantara ini. Ketertinggalan kita selama ini dalam kacamata global adalah karena kita tidak dapat keluar dari orbit yang ada, melainkan ikut arus dunia yang secara nyata merugikan kita. Bangsa lain juga berlomba untuk menjadi "trend setter" bagi bangsa-bangsa lainnya.
Dalam hal ini kita dapat merasakan betapa beratnya beban yang harus kita pikul, mengingat memang kita ini sudah tertinggal. Dapat dibayangkan, dari dua indikator saja kita sudah berat: pertama, kemampuan teknologi yang dicerminkan oleh jumlah paten yang diterima, seluruh negara tropis pada tahun 1995 hanya menerima kurang dari 2 persen dari paten yang dikeluarkan dunia; kedua, pendapatan per kapita kita sekarang sekitar US $ 600, atau 20 tahun tertingga1 dari Thailand, 30 tahun tertinggal dari Malaysia atau 50 tahun tertinggal dari Korea Selatan, hal ini pun dengan dasar asumsi apabila kita tumbuh ekonominya 5 persen per tahun. Dengan tingkat pendapatan USA lebih dari US$ 30.000/kapita dapat dibayangkan betapa terbatasnya kemampuan kita itu.
Secara umum dimensi kehidupan sudah jauh sekali berbeda dengan ketika Indonesia baru merdeka, bahkan dibandingkan dengan situasi 30 tahun yang lalu sekalipun. Kalau kita gunakan istilah "kehampaan" atau kekosongan" dan ini harus diisi maka kehampaan itu adalah "cara pandang" kita yang salah terhadap petani dan pertanian serta reinterpretasi dan rekreasi nasionalisme kita.
Dalam ruangan yang hampa udara, berteriak sekuat apapun orang lain tak akan dapat mendengarnya. Ibarat seperti itu, berteriak sekuat tenagapun, apabila bangsa ini tidak melakukan reinterpretasi dan rekreasi terhadap jiwa "nasionalisme" dan "kerakyatan", maka suara itu tak akan terdengar oleh siapa pun.
Kekosongan itu disebabkan oleh tarikan reinterpretasi dan rekreasi jiwa oleh apa yang namanya globalisasi. Jiwa kita terganggu oleh istilah itu, sehingga kita kehilangan pijakan seolah-olah globalisasi tak mengenal jiwa nasionalisme. Kita ambil saja istilah internasional, dimana di sini ada kata nasional.
Artinya adalah bahwa kata nasional itu sendiri tak terlepas dari interpretasi globalisasi atau kehidupan antarbangsa yang karakternya saja sekarang ini makin mengglobal.
Untuk meyakinkan diri, kita dapat belajar dari "champion" pasar bebas atau demokrasi, yaitu Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam ini jumlah petani sudah tinggal 2 persen saja, tetapi petani Amerika secara umum dapat menghidupi dunia. Surplus berkembang di sana. Pada tahun 1940-an seorang petani kira-kira dapat memberi makan lebih dari 50-an orang. Sekarang sudah ratusan orang. Tetapi petaninya tidak menjadi sengsara dengan surplus tersebut.
Sebaliknya di Indonesia, asal panen harga turun dan waktu paceklik harga naik, tetapi yang menikmati kenaikan harga itu bukanlah para petani. Artinya apa? negara melindungi petani dan pertanian, dan ini berlaku untuk semua negara maju. Hal ini merupakan bagian dari "nasionalisme-nya" Amerika Serikat.
Apakah kita harus melakukan hal yang sama? Menurut pendapat saya, prinsipnya, ya, tetapi cara dan mekanismenya mungkin berbeda. "Nasionalisme" yang harus kita bangun adalah "cara pandang" bahwa kita ini akan selamat hanya apabila dapat memanfaatkan apa yang kita miliki sebaik-baiknya. Saya kembali kepada argumen yang telah saya katakan pada bagian terdahulu, yaitu mengenali diri sendiri dan memanfaatkan keunggulan ini.
Kopi, teh, lada, tebu, kelapa sawit dan seterusnya, sebagai tanaman daerah tropis tidak dapat dikembangkan di daerah temperate, kecuali dengan biaya yang sangat mahal. Keunikan ini menjadi modal kita, tetapi apabila sikap mental kita sama saja seperti dahulu kala, maka ini hanya akan menjadi sumber derita atau sebatas cerita saja.
Sekali lagi, keunikan dari wilayah iklim tropika harus menjadi sumber kesejahteraan kita. Garis pikiran ini akan sulit disubstitusi dengan pikiran lain mengingat kita akan unggul dalam daya saing, bukan hanya alasancomparative advantage, tetapi yang lebih penting adalah alasan keunikan itu sendiri.
Dalam wujud apa nasionalisme tersebut harus kita laksanakan? Sebagaimana telah dikemukakan, petani sudah ada di depan, yaitu dengan investasinya berupa berbagai jenis tanaman yang luasnya jutaan hektar. Karena itu, napas nasionalisme ekonominya akan terletak pada kebijaksanaan yang mampu mengarahkan investasi besar-besaran untuk mengolah dan menanam berbagai jenis tanaman tropika.
Pengalaman dalam pengembangan kelapa sawit dapat dijadikan pelajaran dengan segala penyempurnaannya. Pada tahun 1970-an, luas kebun kelapa sawit di Indonesia tidak lebih dari 200 ribu hektar. Sekarang, luas kebun kelapa sawit sudah lebih dari 3,5 juta hektar. Artinya, kebun kelapa sawit ini sudah meningkat dengan laju 1.650 persen dalam kurun waktu kurang-lebih 30 tahun, atau meningkat per tahun 55 persen.
Mengapa hal ini terjadi? Karena adanya kebijakan yang sangat terfokus sehingga dapat mensinergiskan seluruh potensi yang ada yang akhirnya terwujud suatu kekuatan baru yang mengandalkan iklim tropika ini. Pengalaman ini dapat dijadikan pelajaran untuk pengembangan komoditas lainnya, tentu dengan segala penyempurnaannya.
Sumber : Pakpahan, A. (1999). Membangun perkebunan Abad 21: membalik arus dan gelombang sejarah, Makalah disajikan pada Lokakarya Model Peremajaan karet Rakyat Secara Swadaya dan Ekspose Teknologi Hasil Penelitian Perkebunan, Palembang, 26-28 Oktober 1999, 54 hal.
Jl. Cut Meutia NO. 11, RT. 13, RW. 05, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kode Pos. 10330
(021)3106685, (021)3907554 (Hunting)
PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara
© Inacom. All Rights Reserved.