Berita Terbaru

02 Nov 2009

Ada Perkebunan Tak Miliki HGU

Ada Perkebunan Tak Miliki HGU


Sebaliknya, kalangan perusahaan perkebunan menilai banyak peraturan pemerintah yang tumpang tindih dalam pembukaan perkebunan baru.

 

Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Iwan Isa menuturkan, dari 7.138 kasus tanah yang ditangani BPN, terdapat kasus terkait beroperasinya perusahaan perkebunan sawit tanpa HGU. Padahal, perusahaan perkebunan tidak boleh beroperasi hanya dengan mengantongi izin lokasi dan izin usaha perkebunan dari bupati.

 

”Izin lokasi adalah hak bagi perusahaan berada di sana, izin usaha perkebunan adalah hak perusahaan berusaha di sana, tetapi itu bukan merupakan hak atas tanah. Kalau dari data-data yang dilaporkan kepada BPN, banyak perkebunan yang beroperasi tanpa HGU di Indonesia. Mereka ilegal dan harus dihentikan,” ujar Iwan dalam lokakarya hak atas tanah pada pertemuan Roundtable on Suistanable Palm Oil (RSPO) Ke-7 di Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu (1/11).

 

Menurut Iwan, aparat hukum di Indonesia mestinya menutup perusahaan perkebunan yang diketahui beroperasi tanpa HGU. ”Asas universalnya, dilarang menggunakan tanpa hak. Jadi, tangkap itu perusahaan yang beroperasi tanpa HGU,” ujarnya.

 

Namun, menurut anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Edi Suherdi, pernyataan yang dilontarkan Iwan dalam forum internasional, seperti RSPO, ini terlalu gegabah. Ia mengatakan, pernyataan Iwan bisa membuat perusahaan perkebunan Indonesia anggota RSPO didiskualifikasi karena dianggap ilegal. Padahal, ujarnya, aturan hukum soal penguasaan tanah untuk perkebunan di Indonesia masih tumpang tindih.

 

”Ada aturan yang tak koheren satu sama lain. Seperti dalam izin usaha perkebunan disebutkan, perusahaan setidaknya harus sudah mengusahakan sesuatu di lahan tersebut. Padahal, kami masih belum mendapatkan HGU dari BPN, sementara proses terbitnya memakan waktu lama, bisa bertahun-tahun. Adapun proses mendapatkan izin usaha perkebunan enam bulan,” ujar Edi.

 

Selain itu, dalam penerbitan izin lokasi dan izin usaha perkebunan, bupati juga menyertakan pertimbangan dari BPN di daerah. Menurut Edi, kalau mebicarakan perusahaan yang belum mendapatkan HGU tetapi sudah beroperasi, bisa-bisa banyak perusahaan perkebunan di Indonesia ilegal.

 

Padahal, izin lokasi dan izin usaha perkebunan diperoleh pengusaha dari bupati yang telah mempertimbangkan masukan dari BPN. Iwan mengaku tidak tahu jika dalam izin usaha perkebunan terdapat klausul keharusan melakukan aktivitas lebih dulu di lahan yang diusahakan. Dia meminta semua pemangku kepentingan membicarakan bersama.

 

Sumber : Kompas

-------------------------------

 

Banyak Perkebunan Sawit Beroperasi Tanpa HGU

 

MINGGU, 1 NOVEMBER 2009 | 20:40 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Khaerudin

 

KUALA LUMPUR, KOMPAS.com - Meski tidak diketahui secara rinci datanya, Badan Pertanahan Nasional meyakini banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang beroperasi tanpa memiliki hak guna usaha atau HGU. Namun perusahaan perkebunan malah menilai, banyak aturan pemerintah yang tumpang tindih dalam pembukaan perkebunan baru.

Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Iwan Isa menuturkan, dari 7.138 kasus tanah yang ditangani BPN, terdapat kasus terkait beroperasinya perusahaan perkebunan sawit tanpa HGU. Iwan mengatakan, perusahaan perkebunan tak boleh beroperasi dengan hanya mengantongi izin lokasi dan izin usaha perkebunan dari bupati.

Izin lokasi adalah hak bagi perusahaan berada di sana, izin usaha perkebunan adalah hak perusahaan berusaha di sana, tetapi itu bukan merupakan hak atas tanah. Kalau dari data-data yang dilaporkan ke BPN, banyak perkebunan yang beroperasi tanpa HGU di Indonesia. Mereka ilegal dan harus dihentikan," ujar Iwan dalam workshop hak atas tanah pada pertemuan Roundtable on Suistanable Palm Oil (RSPO) ke-7 di Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu (1/11).

Menurut Iwan, aparat hukum di Indonesia mestinya menutup perusahaan perkebunan yang diketahui beroperasi tanpa HGU. "Asas universalnya, dilarang menggunakan tanpa hak. Jadi tangkap itu perusahaan yang beroperasi tanpa HGU," ujarnya.

Gegabah

Namun, menurut anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Edi Suherdi pernyataan yang dilontarkan Iwan dalam sebuah forum internasional seperti RSPO ini terlalu gegabah. Dia mengatakan, pernyataan Iwan bisa membuat banyak perusahaan perkebunan Indonesia anggota RSPO didiskualifikasi karena dianggap ilegal. Padahal lanjut dia, aturan hukum soal penguasaan tanah untuk perkebunan di Indonesia masih tumpang tindih.

"Ada aturan yang tidak koheren satu sama lain. Seperti dalam izin usaha perkebunan disebutkan, perusahaan setidaknya harus sudah mengusahakan sesuatu di lahan tersebut. Padahal kami masih belum mendapatkan HGU dari BPN, sementara proses terbitnya memakan waktu cukup lama, bisa bertahun-tahun.
Sedangkan proses mendapatkan izin usaha perkebunan hanya enam bulan," ujar Edi.

Selain itu, dalam penerbitan izin lokasi dan izin usaha perkebunan, bupati juga menyertakan pertimbangan dari BPN di daerah. "Kalau kita bicara soal perusahaan yang belum mendapatkan HGU tetapi sudah beroperasi, bisa-bisa banyak perusahaan perkebunan di Indonesia ilegal. Padahal untuk izin lokasi dan izin usaha perkebunan, mereka mendapatkannya dari bupati yang telah mempertimbangkan masukan dari BPN," kata Edi.

Iwan mengaku tak tahu, jika dalam izin usaha perkebunan terdapat klausul tentang keharusan melakukan aktivitas terlebih dulu di lahan yang diusahakan. "Kalau seperti ini, semua pemangku kepentingan terkait pengusahaan tanah untuk perkebunan harus duduk bersama," ujarnya. 

 

Sumber : KOMPAS

-------------------------------------------------- 

 

BPN: BANYAK KEBUN SAWIT ILEGAL

Monday, 02 November 2009 16:49   

 

Denpasar, 2/11 (Antara/FINROLL News) - Badan Pertahanan Nasional dalam pertemuan sawit di Malaysia menyatakan, setiap perusahaan sawit yang melakukan pembukaan lahan di Indonesia tanpa terlebih dahulu memiliki Hak Guna Usaha (HGU) berarti melakukan kegiatan ilegal. 

"Hal seperti itu sering terjadi, karenanya harus ada tindakan tegas, menangkap orang-orang perusahaan yang bertanggungjawab melakukan kegiatan ilegal tersebut," kata Direktur Penyelesaian Konflik dan Sengketa Lahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Iwan Sulanjana, dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Denpasar, Senin. 

Ia menyampaikan hal itu dalam diskusi panel prapertemuan lanjutan tentang minyak sawit berkelanjutan (Roundtable on Sustainable Palm Oil-RSPO) di Kuala Lumpur, Malaysia, sebelum kegiatan itu berakhir, Minggu (1/11). 

Dijelaskan bahwa sering sekali perusahaan kelapa sawit di Indonesia sudah mulai membersihkan lahan atau membuka kebun hanya bermodal izin lokasi dan izin usaha perkebunan. 

Padahal izin lokasi itu artinya hanya sebatas memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk berada di kawasan yang ditetapkan. Sedangkan izin usaha perkebunan memberikan kewenangan kepada perusahaan untuk membuka kebun di tempat yang ditunjuk. 

"Tetapi tanpa HGU, suatu perusahaan jelas tidak punya hak atas tanah yang telah dikuasainya melalui izin lokasi dan izin usaha. Menurut hukum Indonesia, perusahaan sawit seperti itu jelas melanggar hukum," tegas Iwan. 

Berdasarkan data BPN, perusahaan sawit yang membuka kebun tanpa memiliki HGU lebih bermotif mendapatkan pinjaman dari dunia perbankan.
Sampai saat ini ada 7,3 juta hektare lahan terlantar di Indonesia. 

Menurut dia, sebagian besar dari lahan itu sudah mendapat izin lokasi dan izin usaha perkebunan, tetapi tidak dikelola oleh perusahaan bersangkutan karena perizinan yang ada hanya dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari bank. 

"Anehnya, dana pinjaman yang diperolehnya digunakan untuk berinvestasi di tempat lain. Kejadian seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab konflik lahan di Indonesia," tambah Iwan. 

Menanggapi pernyataan tersebut, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Abet Nego Tarigan mengungkapkan, pokok persoalan lahan di sektor perkebunan sawit di Indonesia diakibatkan oleh tumpang tindah dan pertentangan antarperaturan tentang tanah dan persoalan penegakan hukum. 

Dia mencontohkan, dalam Undang-Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 disebutkan masa berlakunya HGU adalah 25 tahun. Namun di Undang-Undang No.18 tahun 2004 tentang Perkebunan, tertulis masa berlaku HGU selama 35 tahun. 

"Selain itu adalah persoalan penegakan hukum sendiri. Bila perusahaan sawit yang membuka kebun tanpa HGU disebut melanggar hukum dan harus ditangkap, lantas aparatur pemerintah mana yang akan menegakkan peraturan tersebut? Padahal menurut data kami, ada banyak perusahaan yang tetap beroperasi meski tidak memiliki HGU," lanjut Abet Nego. 

Dalam diskusi panel bertema "Hak Atas Tanah" tersebut, para pembicara yang terdiri dari Iwan Sulanjana, Abet Nego Tarigan, Simon Siburat (Perwakilan PT Wilmar), Dominique Ng (Pengacara Masyarakat Adat Serawak) dan Amar Inamdar (CAO, Bank Dunia), menyepakati dan mendesak agar RSPO segera membentuk satu kelompok kerja penyelesaian konflik lahan akibat pembangunan kebun sawit. 

Saat menutup acara diskusi itu, Abet Nego menambahkan, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi RSPO untuk menghentikan dan menyelesaikan konflik lahan di kebun sawit. "Tanpa itu rasanya sulit mengatakan ada produk minyak sawit yang berkelanjutan," ucapnya.

 

http://news.id.finroll.com/articles/rilis-press/163930-bpn-banyak-kebun-sawit-ilegal.html

 

 

Logo KPBN

Contact Us

Jl. Cut Meutia NO. 11, RT. 13, RW. 05, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kode Pos. 10330

(021)3106685, (021)3907554 (Hunting)

[email protected]

PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara

Social Media

© Inacom. All Rights Reserved.