Berita Terbaru

27 Jul 2005

Perkebunan Teh dan Kemiskinan

Perkebunan Teh dan Kemiskinan

Oleh : AGUS PAKPAHAN


 

KAWAN saya yang berasal dari Denmark, setelah melihat sendiri bagaimana berat dan rumitnya proses menghasilkan teh hingga dapat dinikmati, berkata, ”Saya bersedia membeli teh dengan harga yang lebih mahal.” Apa yang ia katakan sebenarnya sudah ia lakukan, yaitu harga teh olahan terus meningkat sehingga konsumen teh membayar lebih mahal, tetapi harga teh (bahan baku), terus menurun sehingga petani dan perusahaan perkebunan teh menerima harga yang terus menurun. Pihak yang menikmati dari peningkatan nilai tambah itu adalah pihak yang berada di antara petani/produsen teh dan konsumen.

IGG on Tea (Intergovernmental Group on Tea) Sesi ke-16, baru saja diselenggarakan di Bali, 20-22 Juli 2005. Pada kesempatan tersebut Bapak Gubernur Jawa Barat menyampaikan kepada penulis bahwa masyarakat Jawa Barat masih banyak yang miskin. Penulis tambahkan bahwa itu memang benar, bahkan pada 1996 penulis pernah menganalisis dan menghasilkan bahwa Human Development Index (HDI) Jawa Barat (Jabar) itu lebih dekat ke Timor Timur daripada ke DKI Jakarta. Padahal, secara geografis Jabar berbatasan dengan DKI. Mengapa demikian?


 


Gagasan Tanam Paksa yang diterapkan Belanda, yang memberikan aliran dana hingga hampir 60 % dari pendapatan nasional Belanda pada 1860-65, adalah bersumber dari Priangan melalui apa yang dinamakan Priangan Coffee. Data ini memberikan inspirasi bahwa masyarakat perdesaan di Jabar, khususnya yang bermukim di pegunungan, secara kultural dan struktural sudah menderita sejak lama. Perkebunan, di antaranya teh, merupakan suatu industri yang berbasis pada region dengan memanfaatkan lahan yang luas, berbeda dengan pabrik sepatu, misalnya.


 


Akibatnya, ia mendesak petani sehingga lahan yang diusahakan petani menjadi sangat terbatas (sempit). Sebagai tanaman ekspor, perkebunan teh dirancang dan diusahakan untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri. Karena itu, penerimaan devisa menjadi alasan utama pengembangan perkebunan ini.


 


Sampai sejauh mana ekspor teh ini memberikan kemakmuran? Pada zaman penjajahan hal tersebut sudah sangat jelas adanya. Tetapi setelah kemerdekaan, hasil ekspor komoditas perkebunan relatif stagnan atau menurun. Nilai ekspor teh Indonesia menurun dari 155,7 juta dolar AS (1993) menjadi 97,1 juta dolar AS (1999) dan sedikit meningkat menjadi 103.4 juta dolar AS (2002). Salah satu penyebabnya adalah turunnya harga teh di pasar dunia. Pada tahun 1960 harga teh 4.97 dolar AS/kg, turun menjadi 1.86 dolar AS/kg pada 2000, dan kembali turun menjadi 1.6 dolar AS/kg pada 2004. Yang membuat kita tambah miskin adalah harga teh Indonesia di pasar dunia paling tidak selalu lebih rendah 1/3-nya dari harga teh Sri Lanka.


 


Implikasinya adalah kita kehilangan banyak kesempatan akibat rendahnya harga teh yang dapat kita capai di pasar internasional. Yang paling menderita dari keadaan di atas adalah masyarakat Jawa Barat, mengingat lahan yang digunakan untuk perkebunan teh memiliki alternatif penggunaan lain yang nilainya lebih tinggi.


Kehilangan akibat harga rendah ini mencapai minimal Rp 530 miliar (2004), lebih dari Rp 400 miliar merupakan kerugian buat Jawa Barat mengingat sekitar 70%-80% perkebunan teh berada di Jawa Barat. Jumlah kehilangan ini cukup besar.


 


Apakah perkebunan teh ini harus ditutup mengingat harganya yang terus menurun dan desakan penduduk serta tuntutan ekonomi yang makin besar? Saya pikir tidak.


Yang mendesak untuk dilakukan adalah inovasi untuk merevitalisasi perkebunan teh ini. Kita bisa belajar dari Sri Lanka dan Kenya yang mendapatkan berkah yang cukup besar dari perkebunan teh mereka.


 


Secara garis besar, dua langkah berikut perlu segera dilakukan:


Pertama, kita harus bisa dan kuat untuk menyiapkan diri agar bisa dan kuat berhadapan dengan para pembeli di pasar dunia. Mengingat pasar teh ini bersifat oligopsoni atau bahkan monopsoni dengan arah yang makin terkonsentrasi, penggalangan kebersamaan di dalam negeri menjadi hal yang utama. Jabar perlu menjadi pemukanya. Kebersamaan ini diperlukan untuk membangun posisi tawar dalam proses negosiasi dengan pembeli. Sistem pemasaran yang mampu meningkatkan utilitas bentuk, waktu dan tempat serta utilitas kepemilikan akan meningkatkan posisi tawar teh kita ini.


 


Akhirnya, sistem pemasaran tersebut diperlukan baik untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saing maupun untuk membangun kultur dan struktur ekonomi teh yang baru, yang mampu mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan ketertinggalan.


Pembentukan community corporate merupakan pembuka untuk terwujudnya civic entrepreneurship sebagai media untuk mencapai tujuan pembangunan yang lebih andal, adil dan berkelanjutan.


 


Kedua, penataan pasar domestik, termasuk internalisasi jasa lingkungan perkebunan teh. Sebagai ilustrasi, teh sebagai tanaman tahunan dengan lahan-lahannya yang diteras juga berfungsi sebagai pencegah erosi tanah.


 


Apabila dihutankan, perkebunan teh akan menjadi hutan teh, yang akan memberikan jasa lingkungan yang lebih besar. Jasa ini dinikmati oleh daerah-daerah yang berada di daerah aliran sungai (DAS) bagian hilir, misalnya Jakarta. Karena itu, DKI Jakarta perlu membayar jasa lingkungan tersebut kepada Jabar.


 


Hal serupa juga dapat diusulkan dan diproses terhadap lembaga-lembaga dunia, sebagai imbalan jasa dalam penyerapan gas-gas rumah kaca. Tentu saja, penetrasi dan ekspansi pasar teh di dalam negeri sangat diperlukan mengingat masih rendahnya konsumsi teh per kapita di Indonesia ini.


 


Apakah gagasan untuk mendapatkan berkah dari teh ini dapat menjadi kenyataan akan sangat bergantung pada apakah kita kuat dan bisa bersaing dengan Sri Lanka, Kenya, India, RRC atau negara-negara lain penghasil teh dunia?


 


Mengingat PTPN VIII sebagai pemain teh utama di Indonesia dan Jabar sebagai daerah penghasil teh terbesar di Indonesia, keberhasilan tersebut akan terpulang kepada kita semua, masyarakat Jawa Barat. Yaitu apakah kita bisa menjawab pertanyaan, dapatkah kita menjadi masyarakat dan perusahaan berbasis teh yang berkelas dunia?


 


Kalau kita tidak memulainya sekarang menata diri dan bersabilulungan, kapan lagi? Mudah-mudahan sejuknya perkebunan teh juga menjadikan sejuknya kehidupan petani, pekerja dan kita semua. (mes)


 


Penulis, Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia, Gapperindo.


 


Sumber : www.pikiranrakyat.com

Logo KPBN

Contact Us

Jl. Cut Meutia NO. 11, RT. 13, RW. 05, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kode Pos. 10330

(021)3106685, (021)3907554 (Hunting)

humas@inacom.co.id

PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara

Social Media

© Inacom. All Rights Reserved.