Berita Terbaru

19 Sep 2006

Restrukturisasi BUMN Perkebunan

Restrukturisasi BUMN Perkebunan


Pada saat pemerintah menghadapi masalah-masalah krisis pengadaan minyak goreng dalam negeri, BUMN-Bun tampil sebagai pemasok CPO. Demi stabilisasi harga, prinsip profit-center dikorbankan. Keberhasilan sebagai perintis dan pionir pembukaan perkebunan di daerah remote telah memacu percepatan pembangunan perkebunan, baik itu perkebunan rakyat maupun perkebunan swasta.

 

Secara spesifik perkebunan kelapa sawit yang semula hanya diusahakan perkebunan besar, kini telah menjadi usaha rakyat. Wilayahnya yang semula hanya di Sumatera Utara kini telah tersebar ke berbagai provinsi di Indonesia. Keberhasilan menjadi penghasil CPO terbesar tidak dapat dipisahkan dari peran BUMN-Bun. Walaupun aset perkebunan kelapa sawit saat ini, PTPN hanya pada posisi ketiga setelah swasta dan rakyat. Cukup banyak succes story yang dapat diurai bagaimana PTPN di masa lalu.

 

PTPN yang berbasis pada industri primer mengandalkan usaha pada sumber daya alam dan tenaga kerja murah sebagai keunggulan komparatif. Kedua komponen itu di masa depan justru menjadi tantangan industri primer sektor perkebunan. Lahan yang makin terbatas dan tuntutan biaya hidup tenaga kerja yang semakin meningkat merupakan faktor eksternal kontrol yang sangat vital dalam menentukan eksistensi PTPN di masa mendatang. Kelangsungan usaha PTPN sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah dalam melakukan reformasi termasuk di dalamnya reformasi bidang perpajakan, pertanahan, kemandirian, investasi, manajemen usaha dan lain-lain.

 

Sejumlah kendala dan faktor penentu maju-tidaknya usaha PTPN, antara lain, ciri khusus industri primer perkebunan sangat spesifik dibanding sektor usaha lainnya. Investasi bersifat jangka panjang, kebutuhan lahan luas dan padat karya merupakan faktor yang sangat dominan. Tuntutan menyumbangkan laba perlu dilihat secara proporsional sesuai dengan ciri usaha perkebunan.

 

Ke depan, upaya replanting dan produktivitas akan terkendala dan berakhir terciptanya usaha inefisiensi dan lemahnya daya saing. Untuk itu sangat diperlukan adanya restrukturisasi pola investasi, pola pembiayaan dan pola usaha.

 

Karena itu PTPN perlu dibebaskan dari intervensi birokrat. Apa yang telah dicanangkan melalui Good Corporate Governance (GCG) perlu komitmen dari semua pihak untuk diwujudkan, termasuk pihak departemen teknis. Dualisme pembinaan Departemen Keuangan dan departemen teknis telah dihilangkan melalui PP no 12 tahun 1998 dan PP no 89 tahun 2000 di mana departemen teknis tidak ikut lagi.

 

Kadang kala departemen teknis tidak rela melepaskan dengan sepenuhnya. Hal ini terbaca dari berbagai pernyataan pejabat dan pemerintah, khususnya masalah penetapan pejabat BUMN yang sesungguhnya sudah ada mekanismenya tersendiri. Sudah saatnya PTPN membangun kemandirian sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.

 

Restrukturisasi PTPN belum sepenuhnya menganut GCG. Tiga tahun terakhir komisaris independen telah hadir namun untuk jabatan direksi rupanya belum tersentuh. Begitu pula dengan fungsi-fungsi direksi belum tertata sesuai kebutuhan dalam rangka efisiensi. Langkah konsolidasi PTPN tahun 1996 belum ditindaklanjuti dengan sepenuhnya. Contoh konkret kebun-kebun PTPN II di Papua. Mengapa tidak diserahkan ke BUMN terdekat, misalnya PTPN XIV di Makassar, atau dibangun dan dikembangkan menjadi satu PTPN baru.

 

Beban pajak seperti PBB dengan NOJP yang terus meningkat, juga "mengganggu" seperti dimaklumi skala ekonomi usaha perkebunan memerlukan lahan yang luas. Pada sisi lain diperlukan investasi modal jangka panjang tetapi out put tidak harus selalu mengikuti harga pokok. Tentu, NOJP setiap tahun menjadi beban yang turut melemahkan daya saing.

 

Sebagai referensi dari salah satu kebun teh di Jawa Barat yang output-nya tidak lebih dari Rp 10 juta per hektare. Setelah dikurangi biaya produksi profitnya tidak mencapai Rp 500 ribu per hektare, tetapi harus bayar PBB Rp 1 juta per hektare. Lain lagi perpanjangan HGU yang dapat mencapai Rp 10 juta per hektare. Akibatnya pelunasan pajak tertunda dan HGU terlambat yang kemudian diikuti penjarahan masyarakat.

 

Kita perlu mengoptimalkan pemanfaatan penggunaan lahan melalui diversifikasi usaha. Pola usaha monokultur yang ada sebagai bentuk usaha tradisional para planter perkebunan sudah saatnya ditinggalkan. Usaha diversifikasi merupakan salah satu alternatif untuk menghindari lemahnya daya saing.

 

Sesungguhnya kalau PTPN dapat membangun industri hilir, tidak akan kalah dengan swasta. Produksi primer, baik karet, CPO, teh, gula dan kakao merupakan produk andalan PTPN. Namun hingga saat ini industri hilir masih belum menarik para pimpinan perusahaan.

 

Mungkin hasil yang dicapai sekarang sudah dianggap memadai. Atau mungkin juga karena enggan untuk berinvestasi. Mungkin masih menanti langkah konkret dan dorongan dari Pemerintah.

 

Akhirnya, PTPN perlu mengembangkan diri untuk berkiprah di bidang agrobisnis. Untuk itu perlu ada langkah konkret untuk membangun corporate yang berskala internasional. Produk primer yang menjadi andalan selama ini sudah harus berubah. Reorientasi pada produk industri tertier sudah harus menjadi sasaran utama.

 

Ketergantungan pada sumber daya alam dengan primary-product sudah saatnya ditinggalkan, kemudian beralih ke produk yang bernilai tambah besar dan berdaya saing. Karena itu mutu SDM planters harus diperbarui menjadi kombinasi "planters and businessman" yang dapat berkompetisi dalam era globalisasi.

 

Sumber: Suara Karya

Logo KPBN

Contact Us

Jl. Cut Meutia NO. 11, RT. 13, RW. 05, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kode Pos. 10330

(021)3106685, (021)3907554 (Hunting)

humas@inacom.co.id

PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara

Social Media

© Inacom. All Rights Reserved.