08 Feb 2010
"Ini risiko dari sebuah kesepakatan perdagangan bebas. Dan, saya melihat, kita belum siap untuk menghadapi CAFTA," kata Ketua Umum DPP PDIP itu ketika membuka Konferensi Daerah III DPD PDIP Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kupang, Senin.
Putri proklamator Bung Karno itu mencontohkan, NTT dengan produk kain tenun ikat yang luar biasa, bisa kalah bersaing dengan produk serupa dari Cina atau kawasan ASEAN lain di pasaran jika tidak dikemas dengan lebih baik dan profesional.
"Kain Batik khas Indonesia saja sudah bisa ditiru oleh negara lain dengan mengklaim sebagai produk negaranya. Ini sebuah ancaman yang serius bagi industri manufaktur di dalam negeri," katanya.
Megawati meminta perhatian pemerintah daerah untuk memperhatikan masalah ini dengan lebih serius.
"Jangan kita hanya mengutak-atik anggaran belanja dalam APBD saja, tetapi bagaimana kita mempersiapkan masyarakat kita untuk menghadapi perdagangan global ini," ujarnya.
Mantan presiden itu meminta pemerintah daerah untuk memperhatikan produk lokal yang menjadi unggulan daerahnya masing-masing.
"Jika produk unggulan NTT adalah kain tenun ikat, misalnya, maka produk tersebut harus tetap dipertahankan kualitas dan performanya agar tetap diminati di pasar bebas. Di sinilah letak peran pemerintah daerah dalam melindungi usaha rakyatnya," kata Megawati.
Ketika menjabat presiden, Megawati mengatakan bahwa saat itu dia melarang mengimpor beras, gula dan tekstil agar tetap melindungi hasil petani di dalam negeri sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki ekonomi petani.
"Jika semua serba impor, apa jadinya dengan para petani tebu, beras dan tekstil di Indonesia? Kondisi semacam ini yang perlu diperhatikan sehingga tidak mengorbankan rakyat," tambah Megawati.
Sumber : ANTARA
-----------------
Selasa, 02 Peb 2010 20:16:11 WIB
Wakil Mendag Sudah Bukan Waktunya Berpolemik CAFTA
ANTARA - Wakil Menteri Perdagangan, Mahendra Siregar menilai, saat ini sudah bukan waktunya untuk berpolemik terkait penerapan China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA).
"Apalagi, CAFTA sudah berlaku per 1 Januari 2010, sehingga yang perlu diperhatikan adalah komitmen dan tekad bersama," katanya usai membuka workshop "Kesiapan Jawa Tengah dalam Menghadapi CAFTA" di Semarang, Selasa.
Menurut dia, Jateng sebenarnya memiliki potensi besar untuk menciptakan peluang baru di era CAFTA, seperti terlihat dari eksistensinya sebagai basis industri manufaktur dan beberapa industri sejumlah produk dengan pasar ekspor.
Namun, kata dia, basis yang dimiliki Jateng harus lebih ditingkatkan lagi untuk memenangkan persaingan terhadap produk-produk asing yang masuk ke Indonesia.
Oleh karena itu, kata dia, komitmen dan tekad bersama, baik dari pemerintah, kalangan pengusaha, dan sejumlah pihak lain sangat diperlukan untuk menghadapi dampak dari penerapan CAFTA, terutama untuk sektor industri lokal.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jateng, Solichedi mengatakan, CAFTA sudah tidak bisa dihindari lagi, sebab sudah lama direncanakan. "Karena itu, harus ada strategi untuk menghadapinya," katanya.
Ia menilai, penerapan CAFTA sebaiknya juga dilihat sebagai "riil market" atau sebagai pembukaan peluang baru yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas pemasaran produk.
"Komitmen dan tekad bersama saat ini penting, terutama untuk mendorong produktivitas masyarakat, sebab kondisi yang terjadi dan tumbuh pesat di Indonesia justru perilaku konsumtif masyarakat," kata Solichedi.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Jateng, Anggoro Rahmadipuro mengatakan, kondisi usaha permebelan di Indonesia hingga saat ini masih lemah.
"Selama ini, negara tujuan ekspor produk mebel adalah kawasan Eropa dan Amerika Serikat, namun para eksportir yang memiliki tujuan AS memang yang paling terpuruk akibat krisis finansial," katanya.
Ia mengatakan, hal itu sepertinya akan diperparah dengan penerapan CAFTA per 1 Januari lalu, namun dirinya tetap optimistis bahwa dunia usaha di Jateng mampu menghadapi CAFTA.
Hanya saja, kata dia, pemerintah juga harus memberikan "back up" kemudahan dalam dunia usaha, seperti di negara-negara ASEAN lain, seperti menghilangkan pungutan, perbaikan infrastruktur, dan sektor perbankan.
"Kalau 'skill', sumber daya manusia (SDM), efisiensi, dan sejarah peradaban panjang kita punya, sehingga saya percaya akan mampu menghadapi persaingan dalam CAFTA," kata pemilik PT Dhana Dito itu.
Sumber : ANTARA
-----------------
Kamis, 28 January 2010
Secara Hukum, Indonesia Sulit Mundur dari ACFTA
Pasal 14 Perjanjian hanya memungkinkan amandemen yang harus disepakati seluruh pihak.
Negosiasi yang dilakukan Pemerintah atas pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) tidak akan mengubah keberlakuan perjanjian internasional tersebut. Kalaupun China setuju atas usul Indonesia, pembatalan perjanjian tak mungkin dilakukan jika negara anggota ASEAN lainnya tidak setuju.
Pandangan itu disampaikan dua guru besar hukum internasional, Huala Adolf dan Hikmahanto Juwana. Menurut Huala, Guru Besar di bidang Hukum Privat Internasional Universitas Padjadjaran Bandung, yang bisa dilakukan Pemerintah adalah negosiasi. Tetapi bukan untuk membatalkan perjanjian, melainkan untuk meminimalisir kesulitan yang dihadapi produk lokal akibat perdagangan bebas ASEAN dan China. Perjanjian itu membuka keras seluas-luasnya bagi produk China dan negara ASEAN lain ke pasar domestik Indonesia.
Kalaupun ada desakan untuk membatalkan perjanjian tersebut, dalam praktik sulit dilakukan kalau tidak ada kesepakatan bersama. Prof. Hikmahanto, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, menunjuk pasal 14 kerangka kerja perjanjian ACFTA yang mengatur soal amandemen. Rumusannya: “The provisions of this Agreement may be modified through amendments mutually agreed upon in writing by the Parties”. Dalam rumusan berbeda bermakna sama, pasal 19 Perjanjian Kerjasama ASEAN-China menegaskan: “This Agreement may be amended by the mutual written consent of the Parties”.
Jadi, kata Hikmahanto, untuk membatalkan perjanjian bukan saja harus ada kesepakatan seluruh pihak, tetapi juga kesepakatan itu dalam bentuk tertulis. “Jadi, nggak bisa
Kronologis Peristiwa ACFTA · 23 Oktober 2000. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diundangkan dan mulai berlaku. · 4 November 2002. Indonesia dan negara-negara ASEAN menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation antara ASEAN dan China di Kamboja. · 15 Juni 2004. Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres No. 48 Tahun 2004 yang meratifikasi ACFTA. · 1 Januari 2010. Kerangka kerja ACFTA mulai berjalan. |
Huala Adolf mengingatkan bahwa ACFTA adalah perjanjian bersama banyak negara, sehingga tidak bisa begitu saja dibatalkan. Meskipun ada beberapa isu sensitif dalam kerangka kerja perjanjian tersebut, Indonesia tidak bisa secara sepihak membatalkan perjanjian. Langkah itu hanya bisa ditempuh jika semua negara anggota setuju. Syarat itu bukan hanya untuk Indonesia, melainkan untuk semua negara penanda tangan. “Berlaku untuk semua negara yang menandatangani, sepakat untuk mengakhirinya,” kata Huala saat dihubungi hukumonline melalui telepon.
Hikmahanto dan Huala sependapat ACFTA bukanlah bilateral agreement Indonesia – China. Itu sebabnya, kalau mau melakukan negosiasi, Indonesia harus melakukannya dengan China dan negara-negara ASEAN. Huala mengatakan ACFTA merupakan perjanjian internasional. “Perjanjian internasional, tertulis, dan tunduk pada aturan hukum internasional, yang mengatur tentang kesepakatan,” ujar.
Ditambahkan Huala Adolf, negosiasi sah-sah saja dilakukan, tetapi tidak mungkin mundur. Apalagi perjanjiannya sudah berlaku per 1 Januari 2010. Opsi mundur, sekali lagi, hanya bisa dilakukan jika seluruh pihak perjanjian (parties) setuju untuk mengakhiri perjanjian perdagangan bebas tersebut. Ia menunjuk Konvensi Wina 1969. Konvensi ini menjadi induk bagi perjanjian internasional. Perjanjian internasional menurut Konvensi ini adalah kesepakatan yang dituangkan secara tertulis. Kuncinya adalah kesepakatan.
Itu juga sejalan dengan makna perjanjian internasional berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Berdasarkan wet ini, perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Pasal 4 Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional itu bahkan mengikat Pemerintah Indonesia agar “berkewajiban melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik”.
Pandangan yang disampaikan kedua Guru Besar Hukum Internasional tadi juga sejalan dengan jiwa hukum positif. Pasal 16 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000 menegaskan: “Pemerintah Republik Indonesia melakukan perubahan atas ketentuan suatu perjanjian internasional berdasarkan kesepakatan antara para pihak dalam perjanjian tersebut”. Jika Indonesia berkehendak mengubah atau mengusulkan perubahan suatu perjanjian internasional, Indonesia harus mengikuti mekanisme yang ditentukan dalam perjanjian dimaksud, dalam hal ini ACFTA.
Huala Adolf berpendapat, tidak ada yang salah dengan langkah Presiden meratifikasi ACFTA. Undang-Undang memungkinkan Presiden mengeluarkan Keppres ratifikasi perjanjian internasional di luar bidang-bidang yang ditentukan UU No. 24 Tahun 2000. Bidang-bidang dimaksud adalah politik, perdamaian, hankam, perubahan wilayah dan penetapan batas wilayah RI, kedaulatan dan hak berdaulat negara, HAM dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, serta pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Presiden meratifikasi ACFTA dengan Kepres No. 48 Tahun 2004.
ACFTA menjadi buah bibir karena sejumlah pengusaha mengeluh. Rezim perdagangan bebas diyakini akan menghancurkan industri dalam negeri. Sebab, produk-produk negara lain –khususnya China- bebas membanjiri pasar domestik Indonesia. Malah Badan Analisis Fiskal Departemen Keuangan memperkirakan potensi kehilangan pendapatan dari bea dan cukai sebesar Rp15 triliun akibat pemberlakuan ACFTA.
Sumber : hukumonline.com
--------------------------
Senin, 18 Januari 2010 | 02:35 WIB
Dilema Indonesia dalam ACFTA
Mulai awal tahun ini Indonesia secara resmi terkunci dalam pelaksanaan kesepakatan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Sejak ide ACFTA mulai dicetuskan oleh mantan Perdana Menteri China Zhu Rongji pada Pertemuan Puncak ASEAN Keenam tahun 2000, berbagai tanggapan mulai bermunculan dari para pembuat kebijakan, pelaku usaha, ataupun kaum cendekiawan di Asia Tenggara.
Di Indonesia, para pendukung Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) melihat pelaksanaan kesepakatan perdagangan itu akan bermakna besar bagi kepentingan geostrategis dan ekonomis Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan. Pertumbuhan perekonomian China yang relatif pesat waktu itu menjadikan Negara Tirai Bambu itu salah satu aktor politik dan ekonomi yang patut diperhitungkan Indonesia dan ASEAN.
Sebaliknya, mereka yang berpendapat kritis terhadap kesepakatan perdagangan ini melihat potensi ambruknya industri domestik di Indonesia yang akan kesulitan menghadapi tantangan dari membanjirnya impor produk murah dari China.
Kekhawatiran tersebut memang cukup beralasan. Data statistik Kementerian Perdagangan RI, misalnya, menunjukkan, walaupun jumlah total perdagangan RI dan China meningkat cukup drastis dari 8,7 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 26,8 miliar dollar AS pada 2008, Indonesia yang biasanya mencatat surplus dalam perdagangan dengan China, belakangan ini mulai menunjukkan defisit. Tahun 2008, Indonesia mencatat defisit sebesar 3,6 miliar AS.
Partisipasi Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas ini sebenarnya juga patut dipertanyakan. ACFTA, yang merupakan warisan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, tak pernah diratifikasi melalui lembaga perwakilan rakyat, tetapi hanya melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004. Waktu itu pemerintah melihat bahwa kesepakatan perdagangan bebas bilateral hanya akan memberikan dampak pada sebagian sektor ekonomi sehingga ratifikasi DPR tidak diperlukan.
Kurang beralasan
Masyarakat di berbagai negara berkembang dan miskin yang sudah terlibat dalam perdagangan bebas bilateral sudah dapat melihat bahwa kesepakatan ini dapat berdampak cukup serius terhadap kelangsungan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik di negara-negara tersebut.
Permintaan sejumlah aktor negara dan pengusaha lokal Indonesia untuk menunda pelaksanaan penuh ACFTA sebenarnya kurang beralasan. Ada beberapa alasan. Pertama, Indonesia, seperti negara Asia Tenggara lain, telah diberikan tenggat lima tahun untuk mempersiapkan diri.
Peringatan yang diberikan oleh Kementerian Perindustrian, Agustus 2009, mengenai potensi dampak negatif sebenarnya bisa dikatakan cukup terlambat. Antara masa akhir pemerintahan Megawati dan akhir pemerintahan pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah malah semakin aktif mendorong terbentuknya kesepakatan perdagangan bebas bilateral dengan negara-negara mitra dagang utama lain, seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Intinya, dalam jangka waktu lima tahun sebenarnya pemerintah dan pelaku usaha dapat mengembangkan strategi konkret untuk menghadapi pelaksanaan penuh ACFTA. Bahkan, jika kita kaji lebih jauh, pemerintah dan pelaku usaha sebenarnya harus dapat belajar dari kesepakatan perdagangan regional ASEAN (AFTA) yang sudah berjalan penuh sejak 2003.
Kedua, Pemerintah China sebenarnya telah memberikan konsesi ekonomi cukup besar terhadap ASEAN dalam proses pelaksanaan menuju ACFTA. Guna menanggapi kekhawatiran para pelaku usaha di Asia Tenggara, Pemerintah China sepakat memberikan satu fasilitas yang dikenal sebagai Early Harvest Programme. Dalam skema program tersebut, Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lain dapat mengekspor sejumlah hasil pertanian mereka tanpa dikenakan tarif apa pun di China mulai tahun 2004 hingga awal 2010. Sayangnya skema ini tak terlalu dieksploitasi oleh pemerintah dan pelaku usaha.
Ketiga, walaupun kita harus berhati-hati terhadap kesepakatan perdagangan bebas apa pun, kebijakan proteksionis berlebihan, khususnya saat dunia mengalami resesi global, tak akan menguntungkan Indonesia. Indonesia sebenarnya harus dapat mengambil kesempatan sebagai satu dari dari segelintir negara di dunia yang mampu bertahan selama krisis global.
Selain itu, karena kecenderungan kebijakan pemerintah yang sudah cenderung bergeser pada sistem pasar, kebijakan proteksionis berlebih juga akan menghambat laju reformasi ekonomi negara ini. Satu hal yang perlu diambil oleh pemerintah saat ini adalah kebijakan yang dapat mengakomodasi kepentingan berbagai aktor di dalam negeri dan berbagai kesepakatan perdagangan internasional yang diambil.
Keempat, keseriusan Indonesia untuk menjadi aktor regional dan global akan dipertanyakan jika pemerintah bersedia mengakomodasi desakan populis untuk menunda pelaksanaan ACFTA. Kelima, Indonesia dapat memainkan peranan penting di antara negara-negara ASEAN dalam pelaksanaan penuh ACFTA ini. Antara lain, Jakarta dapat memengaruhi Beijing untuk melakukan usaha perdagangan dan penanaman modal yang bermoral, demokratis, mempertimbangkan faktor lingkungan, dan menjunjung tinggi HAM.
Pada intinya, penundaan pelaksanaan penuh ACFTA tak akan menguntungkan Indonesia. Indonesia perlu berpikir kritis terhadap dirinya sendiri. Penulis ragu, jika ACFTA ditunda 5-10 tahun ke depan pun kita dapat mendengar tanggapan optimistis dari pelaku usaha Indonesia.
Setidaknya, ACFTA dapat memberikan pelajaran bagi Indonesia. ACFTA, bagaimanapun, hanya satu dari sekian bentuk kesepakatan perdagangan bebas bilateral yang akan dilakukan antara Indonesia dan para mitra dagang. Ke depan, kita seharusnya dapat lebih cepat menanggapi kesepakatan perdagangan internasional yang dicanangkan pemerintah.
Alexander C Chandra Rekanan Peneliti pada Pusat Kajian China, Universitas Indonesia, dan Koordinator Asia Tenggara untuk Trade Knowledge Network (TKN).
Sumber : KOMPAS
-----------------
Senin, 18 Januari 2010 20:13 WIB
Industri Nasional Belum Mampu Bersaing Dalam ACFTA
JAKARTA--MI: Berlakunya Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) masih diwarnai dengan keberatan dari kalangan pengusaha. Sedikitnya 14 sektor usaha meminta pemerintah melakukan renegosaisi untuk penangguhan keikutsertaan sektor industri tersebut dalam ACFTA dengan jangka waktu 2-5 tahun.
"Dari paparan berbagai asosiasi sepertinya penundaan keterlibatan dalam ACFTA itu memang harus diajukan karena berbagai kerugian yang harus ditanggung sektor industri kita. Pemerintah juga berkepentingan dengan penundaan ini karena kebijakan yang ada saat ini belum mendukung berkembangnya industri nasional untuk bisa bersaing terbuka dalam kerangka ACFTA ini," ujar Ketua Komisi VI DPR RI Airlangga Hartarto seusai rapat dengar pendapat dengan 19 asosiasi pengusaha dan sektor industri manufaktur di Gedung DPR Jakarta, Senin (18/1).
Namun di sisi lain, kalangan pengusaha juga diharapkan melakukan akselerasi pembenahan dan peninggkatan daya saing supaya operasional sektor industri ini berjalan efektif dan efisien. "Namun kita juga mendorong supaya asosiasi menyiapkan roadmap terkait persiapan mereka untuk sesegera mungkin menjadi bagian dari perjanjian ini. Pembenahan internal hingga peningkatan daya saing produk tidak semata ditentukan oleh kebijakan pemerintah," ujar Airlangga.
Meski perjanjian ini sudah ditandatangani sejak 2004 silam, sosialisasi ketentuan-ketentuan yang akan berlaku sebagai konsekuensi dari ACFTA ini baru dilakukan pemerintah pada semester akhir 2009.
"Rata-rata asosiasi baru diberi tahu mulai dari jangka waktu 6 bulan hingga sebulan sebelum berlakukanya perjanjian pada 1 Januari lalu," ujar Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Sutrisno.
Atas masukan dari pengusaha ini pemerintah diminta untuk segera mengajukan notifikasi kepada Sekjen Asean terhadap sejumlah pos tarif dari berbagai komoditas dari kondisi normal track 1 (NT1) ke NT2 dan dalam jangka panjang bisa dimasukkan sebagai komoditas sensitive list (SL).
"Hasil rapat juga merekomendasikan supaya dilakukan perkuatan terhadap beragam lembaga yang mendukung kelancaran arus barang dan jasa seperti badan pengawas obat dan makanan (BPOM), badan sertifikasi nasional (BSN) hingga Badan Pengembangan Eskspor Nasional (BPEN)," ujar Airlangga.
Selain itu pemerintah juga diminta untuk memperketat pengawasan terhadap masuk dan beredarnya barang impor termasuk pengawasan pelabuhan khusus impor. "Instrumen untuk menghambat leluasanya peredaran barang impor berupa technical barrier seperti penerapan standar nasional Indonesia (SNI) dengan notifikasi kepada organisasi perdagangan internasional (world trade organization, WTO) juga harus diberlakukan," ujar Airlangga.
Penulis : Jajang
Sumber "Media Indonesia
------------------------
THURSDAY, 14 JANUARY 2010 22:48
ACFTA ancam pertanian
MEDAN - Perjanjian Perdagangan Bebas Asean-China (ACFTA) telah diberlakukan secara penuh per 1 Januari 2010, setelah sejak 2002 perjanjian ini ditanda tangani dan diberlakukan bertahap. Lebih dari 6600 komoditi dari
"Saat ini saja telah terjadi ketidak seimbangan neraca ekspor impor Indonesia dengan Cina. Dalam tiga tahun terakhir, perbandingan neraca ekspor dan impor nonmigas antara Indonesia dan Cina selalu menunjukkan angka defisit," ucap Staff Departemen Komunikasi Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Hadiedi Prasaja, kepada Waspada Online, malam ini.
Hadiedi mengungkapkan, data Bank Indonesia (Mei 2009) menyebutkan bahwa pada tahun 2006 kita mengalami defisit sebesar 0,993 milyar dolar AS. Pada tahun 2007 jumlahnya naik mencapai 2,708 milyar dolar AS bahkan pada tahun 2008 angkanya meningkat tajam mencapai 7,898 milyar dolar AS.
"Selama tahun 2009 Cina menjadi negara pemasok barang impor nonmigas terbesar dengan nilai 12,01 miliar dolar," jelasnya melalui hasil BPS 2010.
Seperti yang kita ketahui, lanjut Hadiedi, sektor pertanian merupakan salah satu sektor paling rentan dalam perdagangan bebas. Oleh karena itu, sesuai pernyataan yang disampaikan oleh Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi yakni betapa kita lebih banyak melakukan ekspor dibandingkan impor dari China untuk produk-produk hortikultura dan buah-buahan.
"Rendahnya harga produk dari China telah menghantam petani hortikultura dalam negeri," tegasnya.
Hadiedi mengakui, salah satu yang terkena imbas paling besar ialah petani bawang putih. Tragedi yang dialami petani bawang putih ini terjadi sejak tahun 2005, ketika ACFTA pada saat itu telah menghapuskan tarif impor bawang putih dari Cina, setelah sebelumnya pada tahun 1996 tarif impor bawang putih diturunkan menjadi 5 persen.
"Impor bawang putih ini pun dapat dilakukan secara bebas oleh para importir tanpa menggunakan acuan standar mutu, akibatnya pasar bawang putih domestik dibanjiri produk Cina," jelasnya.
Kebijakan penurunan tarif impor, Hadiedi menilai, hal tersebut dapat menyebabkan harganya jauh lebih murah dibanding bawang putih lokal.
"Akibatnya gairah petani untuk menanam bawang putih semakin menurun karena tidak menguntungkan dan banyak petani dan pengusaha yang terpaksa gulung tikar," pungkasnya.
oleh WAHYU HIDAYAT
Editor: Anggraini Lubis
Sumber : WASPADA
-----------------------
22 Dersember 2009
FTA ASEAN-CHINA, SEBUAH DILEMA
Dalam hitungan hari, mulai 1 Januari 2010, ASEANChina FTA (ACFTA) akan resmi diberlakukan. Berbeda dengan China dan beberapa negara ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand yang tampaknya bergairah, Indonesia justru ketar-ketir menyambut pemberlakuan ACFTA. Ada kesan Indonesia sama sekali belum siap menghadapi ACFTA. Kenapa hal ini terjadi?
Dilematis
Ketika ACFTA pertama kali ditandatangani Megawati Soekarnoputri di Bandar Seri Begawan, Brunei, pada 6 November 2001, sikap optimistis menyeruak di kalangan pemerintah yang berkuasa. Saat itu dikatakan oleh pemerintah bahwa Indonesia berpeluang mengambil beberapa manfaat dari ACFTA. Pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan nontarif di China membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Kedua, penciptaan rezim investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Ketiga, peningkatan kerja sama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan capacity building, technology transfer,dan managerial capability.
Sayangnya sikap optimistis itu tidak dibarengi upaya nyata sebagai persiapan beradaptasi terhadap tatanan perdagangan dan investasi regional yang akan berubah seiring dengan berlakunya ACFTA. Ada kesan pemerintah (baik dibawah pimpinan Megawati atau SBY) memandang manfaat ACFTA sebagai sesuatu yang taken for granted, tidak perlu persiapan yang matang dan secara otomatis akan diperoleh. Akibatnya, pemerintah terlena mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing yang sebenarnya merupakan prasyarat dasar untuk mendapatkan manfaat optimal ACFTA.
Suara miring yang mengatakan bahwa ACFTA bersifat kontraproduktif terhadap perekonomian Indonesia justru muncul ketika kita berada pada posisi point of no return. Misalnya, sekitar 16 sektor usaha seperti tekstil, baja, ban, mebel,pengolahan kakao,industri alat kesehatan, kosmetik, aluminium, elektronika, petrokimia hulu,kaca lembaran,sepatu,mesin perkakas,dan kendaraan bermotor menyatakan belum siap memasuki ACFTA. Beberapa asosiasi bahkan secara tegas mendesak pemerintah menunda dan membatalkan pemberlakuan ACFTA.
Pemerintah berada pada posisi yang sangat dilematis untuk merespons permasalahan ini. Di satu sisi, pemberlakuan ACFTA tepat waktu akan membuat beberapa sektor tidak mampu bersaing dengan produk China. Ini akan berdampak secara negatif terhadap performa dan kapasitas produksi sektor-sektor itu yang kemudian akan mendorong munculnya PHK dan pengangguran. Simulasi yang pernah dilakukan P2E-LIPI menunjukkan bahwa setiap penurunan kapasitas produksi sektor industri sebesar 10 persen berpotensi mendorong PHK (pengangguran) 500.000 orang. Betapa besarnya pengangguran yang akan muncul seandainya ACFTA menekan kapasitas produksi sektor industri sebesar 10 persen saja.
Di sisi lain, penundaan dan pembatalan pemberlakuan ACFTA bukanlah suatu hal yang gampang dilakukan. Pertama, sesuai peraturan, penundaan hanya boleh dilakukan ketika suatu negara sudah memberitahukan alasan- alasan penundaan yang logis ke seluruh negara terkait,paling tidak enam bulan sebelumnya. Karena sangat terlambat, boleh jadi Indonesia akan menerima sanksi jika tetap memaksakan penundaan pemberlakuan ACFTA
Kedua, penundaan yang dipaksakan akan menurunkan kredibilitas dan integritas Indonesia. Posisi ini tentu saja akan mengurangi posisi Indonesia sebagai salah satu negara anggota G-20 dan cukup vokal di dalam pertemuan-pertemuan WTO. Ini kemudian akan menghambat ambisi Indonesia sebagai negara yang memiliki peran dan wibawa untuk merestrukturisasi tata perdagangan internasional ke arah yang lebih fair.
Solusi Minimalis
Meski relatif sulit, terdapat beberapa peluang bagi Indonesia untuk menyiasati pemberlakuan ACFTA. Pertama, melakukan lobi secara bilateral terhadap setiap negara terkait untuk melakukan penundaan terhadap produk-produk tertentu. Proses trade-in biasanya mewarnai pilihan ini.Misalnya,ketika kita meminta kompensasi kepada China agar pemberlakuan ACFTA untuk tekstil ditunda, China juga akan meminta penundaan terhadap sektor yang dianggap belum kuat untuk bersaing dengan produk sejenis dari Indonesia. Atau China bisa meminta impor yang lebih liberal untuk produkproduk yang sangat mereka butuhkan (seperti gas atau batu bara).
Kedua, seandainya ACFTA tidak bisa ditunda, pemerintah harus antisipatif untuk menyelamatkan sektor/industri nasional dengan mengimplementasikan kebijakan non-tariff dan antidumping. Misalnya, menyediakan bantuan untuk restrukturisasi permesinan dan pembebasan bea masuk impor untuk bahan baku dan permesinan yang dibutuhkan industri nasional. Juga Indonesia bisa menerapkan SNI bagi produk impor yang dijual di pasar lokal.
Ketiga, peningkatan penggunaan produk lokal sebagaimana telah diatur di dalam Inpres No 2/2009. Instansi pemerintah dan BUMN perlu didorong sebagai pelopor untuk hal ini. Reward dan punishment perlu diberlakukan untuk mendorong instansi pemerintah dan BUMN menggunakan produk dalam negeri.
Sejalan dengan itu, Indonesia sudah mulai harus bergegas untuk mendorong peningkatan daya saing sektor/industri nasional.Meskipun bisa tidaknya suatu industri meningkatkan daya saing ditentukan oleh industri itu sendiri, tetapi pemerintah berkontribusi terhadap lemahnya daya saing industri nasional. Misalnya, centang perenangnya infrastruktur, bunga kredit yang relatif masih tinggi, birokrasi yang kompleks,pungutan liar, dan peraturan yang tidak probisnis adalah beberapa hal yang menambah biaya melakukan bisnis di Indonesia yang kemudian memperlemah daya saing industri nasional. Melemahnya daya saing industri nasional juga merupakan akibat dari tidak efisiennya beberapa BUMN seperti Pertamina dan PLN. BUMN itu mentransfer ketidakefisienannya kepada industri nasional dengan menetapkan harga jual yang tinggi terhadap produk/ jasa yang dihasilkannya kepada industri nasional.
oleh Latif Adam / Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI
Sumber: Harian Seputar Indonesia
Jl. Cut Meutia NO. 11, RT. 13, RW. 05, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kode Pos. 10330
(021)3106685, (021)3907554 (Hunting)
PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara
© Inacom. All Rights Reserved.