11 Nov 2009
"Kebijakan pemerintah pusat yang didukung pemerintah daerah Papua untuk mengembangkan investasi merupakan faktor penyebab perusakan hutan di kawasan tersebut," ujar jurubicara Telapak, Hapsoro hari ini.
Total luas kawasan hutan di Papua, kata Hapsoro, 45 juta ha. Namun aksi perusahaan perkebunan yang setiap harinya menggunakan buldozer membuka kawasan hutan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit sangat mengancam kelestarian hutan di kawasan tersebut. "Penebangan hutan jelas sangat merusak lingkungan dan menyebabkan emisi carbon," katanya.
Menurutnya, sedikitnya 89 perusahaan perkebunan kelapa sawit diperkirakan telah menguasai areal seluas 5 juta ha. "Perusahaan perkebunan kelapa sawit itu dengan mudahnya menebang hutan yang ada digantikan perkebunan kelapa sawit."
Hapsoro meminta pemerintah agar menghentikan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang begitu cepat di Papua. "Banyak perusahaan yang memperoleh izin mengelola perkebunan kelapa sawit, belum memenuhi syarat Amdal. Pemerintah daerah tidak pernah memberi kesempatan kepada masyarakat setempat untuk mengelola lahannya.
Pemerintah daerah selalu menyatakan kawasan hutan merupakan tanah negara yang hanya dapat dikelola pemerintah. "Masyarakat sama sekali tidak mempunyai hak untuk mengolah lahan, apalagi memperoleh ganti kerugian atas dibangunnya perkebunan kelapa sawit tersebut," ungkapnya. (tw)
Kaji Ulang Perluasan Kebun Sawit di Papua
Rabu, 11 November 2009 | 02:57 WIB
Jakarta, Kompas - Pemerintah diminta mengkaji ulang pemberian izin konversi hutan bagi perkebunan kelapa sawit besar-besaran di Papua. Penyelidikan organisasi lingkungan Telapak dan Environmental Investigation Agency menunjukkan, deforestasi turut mengeksploitasi masyarakat adat.
Warga pedalaman dibiarkan berhadapan langsung dengan perusahaan besar. Akibatnya, warga terjebak dalam sistem sewa lahan puluhan tahun tanpa kompensasi memadai. Janji-janji perbaikan pendidikan, perumahan, dan transportasi pun tidak terwujud.
”Terlalu banyak janji kosong perusahaan terhadap warga. Kaji ulang pemberian izin pembukaan hutan,” kata juru bicara Telapak, Hapsoro, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (10/11). Berdasarkan penelitian kedua organisasi lingkungan tersebut di tujuh lokasi selama 2009, diketahui, saat ini setidaknya lima juta hektar hutan di Papua menjadi sasaran perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Di Sorong saja, seperti diungkapkan Ronny Dimara dari LSM Triton, lahan berhutan seluas 1.040 hektar dikuasai satu perusahaan. Setidaknya, ada empat perusahaan lain sedang bersiap membuka lahan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Seperti diungkapkan Telapak/EIA, Pemerintah Provinsi Papua hingga Februari 2009 telah mengeluarkan izin perkebunan bagi 89 perusahaan. Namun, hanya 10 yang bertahan karena krisis keuangan global.
Di lapangan, warga dengan keterbatasan pengetahuan terpaksa melepaskan tanah hutannya dengan murah. Paling murah kurang dari Rp 15.000 per hektar, sedangkan paling mahal Rp 450.000 per hektar untuk 35 tahun sewa, seperti terjadi di Distrik Sidey, Manokwari, Papua Barat.
Di Desa Ninjimor, Modan, Papua Barat, dua marga melepaskan tanah mereka seluas 1.340 hektar dengan bayaran Rp 20 juta atau kurang dari Rp 15.000 per hektarnya. Salah seorang warga di lokasi sama menerima sekitar Rp 10 juta untuk 441 hektar tanah berhutan untuk periode sewa tanpa batas.
Tidak logis
Ketidaklogisan lain adalah anak berusia empat tahun diminta turut tanda tangan dokumen pelepasan tanah ulayat 25 tahun di Klawono, Sorong. Alasannya, perjanjian masih akan mengikat meskipun ayahnya, yang merupakan kepala suku, suatu saat meninggal.
Pembukaan hutan besar-besaran di Papua dengan alasan minyak kelapa sawit ataupun memenuhi permintaan bahan biofuel dunia dinilai Telapak/EIA juga tidak logis. Di tengah semangat menurunkan emisi karbon dioksida,
Di sisi lain,
Ditegaskan Jago, alasan utama permintaan kaji ulang deforestasi besar-besaran di Papua adalah kesejahteraan masyarakat adat. Warga, yang secara turun-temurun hidup dari hasil hutan, secara drastis kehilangan gantungan hidupnya.
Sumber : KOMPAS
------------------
Kamis, 22 Mei 22 2008
“Perluasan di Papua ada rencana, tapi kita belum dapat izin. Memang kita sudah mengajukannya untuk 100.000 hingga 150.000 hektar,” kata Direktur Business Development PT BSP, M Iqbal Zainuddin, di Jakarta, Rabu [21/05].
Menurut Iqbal Zainuddin , jika dilihat dari segi “economic skill” paling tidak untuk membuat industri kelapa sawit harus membuka lahan 100.000 hingga 150.000 hektar untuk kebun kelapa sawitnya.
Saat ditanya berapa besar investasi untuk kelapa sawit, dia mengatakan, rata-rata investasi yang harus ditanamkan untuk industri ini mencapai 5.500 hingga 6.000 AS dolar per hektarnya. Angka tersebut sudah termasuk membuka lahan dan pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit (CPO mill). “Di Papua memang paling mahal untuk investasi di sektor kelapa sawit karena infrastrukturnya belum ada,” ujar dia.
Dia mengatakan 80 persen luas lahan Papua merupakan hutan dan hanya 20 persen lahannya merupakan lahan pemukiman yang sebagian besar dipergunakan untuk transmigrasi. Jadi akan sulit untuk dapat membuka lahan, sehingga harus ada konversi lahan terlebih dahulu.
“Jadi kita lihat dulu keputusan dari pemerintah apakah mau hutannya dikonversi atau tidak. Rata-rata dari pengalaman teman-teman yang sudah mengajukan izin pembukaan lahan butuh waktu dua hingga tiga tahun sampai mendapat izin,” kata Iqbal.
Dia sendiri mengaku mengerti bahwa pemerintah daerah (pemda) tidak dapat mengeluarkan izin pembukaan lahan begitu saja jika belum ada keputusan pelepasan kawasan atau alih fungsi hutan. Jika pelepasan atau alih fungsi hutan memang belum jelas maka tentu melanggar hukum, karena itu lebih baik menunggu.
Sumber : Berita Sore
--------------------
15.000 Ton CPO Dijual untuk Bayar Petani
Rabu, 11 November 2009
Ketapang, Kompas - PT Benua Indah Group menyerahkan 15.000 ton minyak sawit mentah atau CPO miliknya untuk dijual kepada perusahaan perkebunan sawit PT Arrtu Plantation. Hasil penjualan CPO sebesar Rp 90 miliar itu digunakan untuk membayar tunggakan pembelian tandan buah segar petani. Kekurangannya tetap menjadi tanggung jawab perusahaan itu.
Demikian keputusan yang diambil dalam pertemuan perwakilan petani dengan Pemerintah Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, manajemen PT Benua Indah Group (BIG), perwakilan pemilik PT Arrtu, Panitia Kerja DPRD Ketapang untuk Penyelesaian Kasus PT BIG, dan Kepolisian Resor Ketapang, Selasa (10/11) di Pendopo Rumah Dinas Bupati Ketapang.
Keputusan bersama diambil setelah ratusan petani Perkebunan Inti Rakyat-Transmigrasi PT BIG, yang mewakili sekitar 10.490 petani, menduduki kantor DPRD Ketapang sepekan ini. Petani menuntut tunggakan pembayaran TBS oleh PT BIG empat bulan ini senilai Rp 133 miliar.
Dalam berita sebelumnya disebutkan, sekitar 60.000 petani sawit di Ketapang empat bulan ini tersiksa. Tandan buah segar (TBS) sawit mereka tidak dibayar PT BIG, perusahaan yang membeli tandan (Kompas, 10/11).
Mengawali pertemuan kemarin, Sekretaris Daerah Ketapang, Bachtiar, menyatakan, Sabtu lalu, Bupati Ketapang Morkes Effendi, Direktur PT BIG Budiono Tan, dan pihak PT Arrtu Plantation bertemu dengan difasilitasi Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Budiono Tan menyetujui pembelian CPO oleh PT Arrtu dan hasil penjualannya digunakan untuk membayar petani.
Richard yang mewakili pemilik PT Arrtu Plantation menyatakan, hasil penjualan CPO yang diperkirakan mencapai Rp 90 miliar itu sepenuhnya menjadi milik petani. Mekanisme pembayaran dilakukan secara bertahap. CPO diangkut dari tangki timbun setelah petani menerima pembayaran di rekening bersama.
”Pembayaran mulai minggu depan secara bertahap dan akan selesai sekitar tiga minggu hingga satu bulan,” katanya.
Henri Kakenang, yang mewakili manajemen PT BIG, menyanggupi kesepakatan itu, termasuk kewajiban melunasi pembayaran tunggakan TBS yang kurang sekitar Rp 42 miliar.
Ketua Persatuan Petani Sawit PIR-Trans Kabupaten Ketapang Supirman yang mewakili petani, mendesak PT BIG agar mengundurkan diri dari pengelolaan kebun plasma.
Setelah ada kesepakatan, petani bersedia meninggalkan kantor DPRD Ketapang.
Sumber : KOMPAS
© Inacom. All Rights Reserved.