Perubahan Aturan GWM Diharap Picu Kredit Infrastruktur
Karena bank akan terangsang memicu kreditnya agar besaran GWM yang disetorkan lebih rendah. Lebih dari itu, HIPMI berharap, aturan baru terkait GWM ini dapat memacu realisasi kredit infrastruktur dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Erwin mengatakan, untuk membuat Indonesia tidak terpuruk menghadapi Asean-China Free Trade Agreement (AC-FTA), realisasi kredit infrastruktur harus dipercepat. Seperti diketahui, BI berencana untuk mengubah besaran setoran GWM perbankan menurut besaran LDR (Loan to Deposit Ratio ).
Jika LDR bank itu lebih besar maka GWM akan lebih kecil dari ketentuan normal. Sebaliknya jika LDR bank tersebut kecil maka GWM akan lebih besar.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menyambut rencana tersebut. Diharapkan, penerapan GWM itu berdampak langsung pada rendahnya biaya modal (cost capital ) pengusaha yang diperoleh melalui kredit perbankan.
`Kita sambut sebab kebijakan ini bisa memacu realisasi kredit perbankan. Cuma harus dipastikan juga agar demand kredit bisa meningkat. Caranya dengan memastikan apakah dengan banyaknya likuiditas dan relaksasi itu membuat bank-bank juga terpacu menurunkan bunganya. Kalau tidak, percuma nanti likuiditas bank akan lari lagi ke SBI atau surat utang lainnya,` kata Ketua Umum HIPMI Erwin Aksa dalam siaran pers yang diterima detikFinance, Sabtu (09/01).
`Sampai akhir 2009, realisasi kredit infrastruktur termasuk paling rendah di semua bank. Penerapan aturan GWM baru ini semestinya bisa memacu penyaluran itu. Sebab dengan keterbatasan infrastruktur yang ada mustahil pengusaha diminta bertahan menghadapi gempuran produk China,` tegas Erwin.
HIPMI melihat meningkatnya undisbursed loan atau kredit tidak dicairkan tahun ini bukan semata-mata disebabkan pengusaha tidak menarik kredit mereka.
Lebih dari itu, belum ada langkah nyata dari BI dan pemerintah untuk mendorong meningkatnya demand itu baik melalui optimalisasi realisasi anggaran negara maupun menggenjot infrastruktur.
HIPMI berharap penerapan aturan GWM baru ini dapat memberikan solusi bagi dunia usaha secepatnya sebab pada semester II-2010 ancaman inflasi dan dampak negatif AC-FTA berpeluang terjadi.
Data Statistik Perbankan BI Oktober 2009 menunjukan undisbursed loan perbankan sebesar Rp 279 triliun. Posisi ini meningkat 13,5% dari Oktober 2008 sebesar Rp 246 triliun.
`Harus diwaspadai, selain infrastruktur yang rendah, realisasi kredit ke perdagangan paling rendah. Bagaimana Indonesia akan masuk ke AC-FTA kalau realisasi kredit perdagangan sangat rendah. Padahal isu sentral AC-FTA adalah industri dan perdagangan,` kata Erwin.
Sementara itu, Sekjen HIPMI M Ridwan Mustofa berharap, GWM tersebut dapat mendorong tingginya LDR utamanya untuk KUR. Ridwan berharap agar pemerintah segera merealisasikan penambahan dana penjaminan KUR yang dijanjikan dalam program 100 hari.
Ridwan mengingatkan, terdapat kesan KUR sudah dilupakan. `Jangan sampai KUR dilupakan. Sebab usaha mikro perlu diperkuat untuk menghadapi AC-FTA,` tegas Ridwan.
Sumber : Harian Analisa