KPBN News

Pelabuhan 24 Jam dan Infrastruktur



Haryo Damardono

Pelabuhan adalah pintu gerbang suatu negara, di planet bumi yang 70 persennya laut. Infrastruktur pelabuhan juga merupakan kunci daya saing, terlebih bagi arus ek spor dan impor barang. Bila pelabuhan inefisien, logistik terganggu sehingga memperlemah perekonomian bangsa.

Ketika misalnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengumumkan kenaikan nilai ekspor nonmigas ke Uni Eropa pada Januari-April 2010 menjadi 5,06 miliar dollar AS; sudah barang tentu, lalu lintas barang ekspor itu sebagian besar melewati pelabuhan. Mau lewat mana lagi? Kargo udara, masih sangat terbatas, belum lagi tarifnya tak ekonomis.

Dan, bila kita mempercayai kolumnis Thomas L Friedman, bahwa The World Is Flat , bahkan cenderung makin datar; dimana produksi barang ditentukan keunggulan geografis dan dukungan lokalitas, maka tak terelakkan lagi logistik menjadi begitu penting. Tiap dollar, tiap sen, dan tiap rupiah yang berhasil dihemat akan menentukan daya saing produk itu.

Republik ini, juga menyadari betul inefisiensi di pelabuhan, sebagai titik lemah. Tenaga kerja boleh murah, pajak cenderung lebih rendah dari negara pesaing, retribusi masih boleh ditekan setelah main mata dengan oknum petugas; namun biaya tinggi oleh karena inefisiensi di pelabuhan, faktanya, menyebabkan harga dari produk kita sulit bersaing.

Sudah menjadi rahasia umum, di tanah Jawa, jeruk Medan dihantam jeruk Mandarin asal China. Mengapa? Sebab, ongkos angkut dari Sumatera Utara ke Jawa lewat Pelabuhan Belawan dan Tanjung Priok, jauh lebih mahal daripada ongkos angkut dari China ke Jawa melewati Pelabuhan Shanghai.

24 Jam

Akhirnya, pada 29 Januari 2010 pemerintah menetapkan lima pelabuhan dibuka 24 jam dan tujuh hari dalam seminggu bagi eksportir dan importir. Pelabuhan-pelabuhan itu adalah Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Emas (Semarang), Tanjung Perak (Surabaya), Belawan (Medan), dan Soekarno-Hatta (Makassar).

Inti dari perluasan pelayanan ini adalah, terjadi distribusi kepadatan di Pelabuhan. Di pelabuhan-pelabuhan utama, pelayanan 24 jam diharapkan meniadakan antrean kapal.

Apalagi, ambil contoh, di Tanjung Priok, tahun 2009, dari kapasitas 5,5 juta twenty-feet equivalent unit (TEUs) per tahun dibongkar 3,5 juta TEUs. Tahun 2013, diprediksi kapasitas dan realisasi bongkar muat volumenya setara, jadi bila pelabuhan hanya beroperasi saat mentari masih terbit, takkan mampu mencegah kepadatan di pelabuhan.

Inilah hasil gebrakan program 100 hari pemerintahan kedua dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski layanan 24 jam itu, baru ditegaskan menjelang injury time 100 hari pemerintahan, karena terhambat pengaturan perpanjangan jam kerja Pegawai Negeri Sipil, dan koordinasi dengan perbankan.

Karena hambatan itu, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, untuk mendapat layanan 24 jam, pengusaha masih harus mengajukan terlebih dahulu. `Nantinya tidak perlu lagi request (permintaan), karena layanan 24 jam itu harus berjalan terus,` kata Hatta.

Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (persero) Richard Jose Lino, selaku operator pelabuhan, mendukung penuh rencana pemerintah. Sebelum penetapan layanan 24 jam, Pelindo II terlebih dahulu mencanangkan tahun 2010 sebagai tahun produktivitas.

Diharapkan kapal tak perlu menunggu lama sebelum sandar. Mungkin, kita tak perlu lagi menyaksikan antrean kapal untuk sandar di Teluk Jakarta, di Selat Madura, maupun di kolam-kolam pelabuhan lainnya.

Tak ingin agar pencanangan tahun produktivitas, sekadar pepesan kosong, maka Maret 2010 lalu, Pelindo II berani menginvestasikan dana Rp 2,7 triliun untuk peningkatan kapasitas dermaga dan pembelian sarana pelabuhan.

Investasi itu akan direalisasikan di Pelabuhan Tanjung Priok, Palembang, Pontianak, Teluk Bayur (Padang), Panjang (Lampung), dan Jambi. Kontrak dengan direksi dari PT Wijaya Karya, PT Waskita Karya, dan PT Pembangunan Perumahan, ditandatangani di Tanjung Priok.

Kontrak dengan tiga BUMN yang sebenarnya juga berarti mensinergikan kekuatan BUMN, terkait pembangunan atau penguatan dermaga untuk pemasangan alat bongkar muat atau crane, serta perluasan lapangan penumpukan peti kemas (container yard).

PT Pelindo II juga sedang memproses pengadaan tiga buah quayside container crane (QCC) dengan sistem lift ganda yang masing-masing berkapasitas 60 ton. Tiga unit QCC dialokasikan di Pelabuhan Panjang, Pontianak, dan Palembang sebab lalu lintas peti kemas pada tiga cabang pelabuhan tersebut cukup tinggi.

Bahkan jauh sebelum pemerintah meluncurkan program pelabuhan 24 jam-nya, Pelindo II bersama Pelindo I, III, dan IV, telah berupaya memperbaiki manajemen pelabuhan terkait memodernisasi pelabuhan. Manajer di Pelindo, dilatih oleh instruktur dari United Nations Conference on Trade and Development, Irish Aid, dan Dublin Port Company.

`Bisnis pelabuhan adalah bisnis pelayanan. Jadi intinya adalah orangnya (pegawai pelabuhan). Kami pun menaruh perhatian besar kepada pengembangan sumber daya manusia,` kata RJ Lino, ditemui Kompas, November tahun lalu.

Direksi Pelindo II, juga terus mendorong percepatan pengurusan dokumen barang dan kapal. Tujuannya, untuk menjadikan Tanjung Priok pelabuhan utama Pelindo II, sebagai pelabuhan penghubung atau hub port. `Dokumentasi harus kurang dalam setengah hari, sehingga kurang dari 24 jam barang bisa pindah kapal,` ditegaskan RJ Lino.

Dia patut geram, dengan kelambanan pengurusan dokumen ini. Terlebih kata RJ Lino, sekarang, Tanjung Priok kalah dengan Malaysia, Taiwan dan Vietnam. Indonesia pun, tak ubahnya negara maritim, yang sekadar gigit jari. Apa artinya memiliki 5,8 juta kilometer laut, bila anak negeri ini hanya menyaksikan kapal-kapal asing melintas.

Saat ini, untuk barang impor, misalnya, karena transporter dunia hanya mau bongkar barang di Port Klang, Malaysia atau Pelabuhan Singapura, maka importir harus menyewa kapal menuju sejumlah pelabuhan di Indonesia sehingga ada tambahan biaya 70 dollar Amerika per TEUs (peti kemas 20 kaki peti kemas).

Idealnya, bila tarif lebih murah dan tak harus ada waktu tunggu yang lama, barang impor yang sebagian adalah barang modal untuk produksi itu, dapat langsung dibongkar di Tanjung Priok. Sehingga, devisa untuk ongkos angkut yang 70 dollar AS per teus dapat dinikmati di Tanah Air, syukur-syukur untuk investasi pengembangan pelabuhan.

Butuh Dukungan

Yang menarik, pelabuhan ternyata sudah lama beroperasi 24 jam, khususnya untuk bongkar-muat. Di Jakarta International Container Terminal (JICT), pelabuhan sudah dibuka selama 24 jam, bahkan sejak tahun 2005.

Kuli-kuli di pelabuhan tradisional, maupun staf pelabuhan yang profesional di Pelabuhan sekelas JICT telah terbiasa bekerja tiga shift sehari masing-masing shift delapan jam. Dalam setahun, konon mereka hanya beristirahat selama tiga shift saat Lebaran dan Idul Adha.

Artinya, dari sisi kesiapan pelabuhan sebenarnya sudah ada langkah maju dari beberapa tahun lalu, ditambah investasi tambahan berupa dermaga dan alat bongkar muat peti kemas. Belum lagi, investasi berbentuk peningkatan sumber daya manusia.

Eddy Haristiani, Corporate Public Relations Manager Pelindo II, pun menegaskan, dibutuhkan dukungan banyak pihak agar operasional pelabuhan selama 24 jam dapat optimal. `Untuk bagian kargo misalnya, kita ingin gudangnya dibuka 24 jam. Bila tidak percuma, kargo sudah dibongkar tengah malam, tapi tak diangkut keluar dari pelabuhan sehingga terjadi penumpukan barang di pelabuhan,` kata Eddy.

Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Kepelabuhanan Indonesia (Depalindo), Toto Dirgantoro menambahkan, kini depo kontainer kosong masih belum buka 24 jam. Akibatnya, truk harus menunggu hingga pagi hari untuk mengambil kontainer kosong ke pabrik.

Padahal idealnya, truk mampu beroperasi di saat subuh, ketika lalu lintas belum terlalu padat. Ketika lalu lintas lancar, daya saing produk Indonesia secara tak langsung terdongkrak, karena biaya transportasinya juga rendah oleh penghematan solar, dan pungli, tentunya.

Dukungan Infrastruktur

Mulai Juni 2010, Pelindo II sebenarnya telah memiliki cermin untuk memacu diri. Ini setelah manajemen Pelindo II, sepakat membentuk kerja sama berbentuk sister port, dengan fokus terhadap Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Incheon.

Di Hotel Crowne Plaza, ketika itu, sekelompok manajemen Pelindo II yang dipimpin oleh Saptono Irianto, Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha sebagai Pelaksana Harian Direktur Utama Pelindo II, jelas-jelas terperangah oleh presentasi Mr. Young-Ha Cho selaku Director General of Port, Airport & Logistics Bureau Incheon Metropolitan City.

Dari p resentasi Young-Ha Cho, dapat dipelajari betapa terintegrasinya pelabuhan, bandara udara, termasuk pergudangan di Incheon. Pelabuhan Incheon misalnya, dihubungkan dengan jalan tol, kereta api, maupun kereta api bawah tanah dengan Bandara Incheon.

Sehingga Bandara Incheon, tercatat sebagai bandara terbesar kedua di dunia dalam hal lalu lintas kargo dengan volume 2,3 juta ton setahun. Prestasi Bandara Incheon adalah ekses limpasan kargo dari Pelabuhan Incheon, sebagai akibat mumpuninya koneksi intermoda.

Cetak biru dari Pelabuhan Tanjung Priok selaku pelabuhan utama Pelindo II sebenarnya tak kalah impresif. Telah direncanakan Tol Akses Pelabuhan Tanjung Priok, yang terkoneksi dengan Tol Lingkar Luar Jakarta, dan jalur kereta api langsung ke Dermaga Tanjung Priok.

Sayangnya, hingga tahun 2010 ini, 65 tahun setelah kita merdeka, belum terhubung juga jalur transportasi itu.

Padahal, apa artinya pembukaan layanan pelabuhan selama 24 jam, bila ternyata truk terhambat di jalan-jalan menuju Pelabuhan? Jangan sampai nantinya, antrean kapal berubah menjadi antrean truk menuju Pelabuhan. Sia-sia pekerjaan kita didalam membenahi pelabuhan.

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Nurdin Manurung memang telah mengatakan, dari rencana pembangunan 12 kilometer Jalan Tol Akses Tanjung Priok, telah selesai terbangun empat kilometer jalan tol. Telah atau baru?

Apakah pemerintah serius dengan tol itu? Apalagi sebenarnya, Kementerian Pekerjaan Umum kerap sesumbar pembangunan tol itu, akan selesai April 2010 dari rencana awal Juni 2010. Dan, tol itu pun dibangun sendiri oleh pemerintah dengan dana Japan Bank for International Cooperation (JBIC) senilai Rp 4,2 triliun, sehingga pemerintah tak dapat menuding swasta tak becus membangun tol.

Lantas, pemerintah juga kurang agresif dalam menyelesaikan akses kereta menuju Dermaga Pelabuhan Tanjung Priok. Padahal di banyak pelabuhan dunia, seperti Pelabuhan Tokyo, Rotterdam, selalu ada jalur kereta. Sedari abad lalu, transportasi kereta dikenal sebagai transportasi bebas hambatan dari hinterland, kawasan produksi ke pelabuhan.

Tanpa adanya emplasemen kereta tepat di dalam Dermaga Tanjung Priok, misalnya, maka pembangunan dry port di Cikarang dan Gede Bage, Bandung, menjadi tak menarik bagi eksportir-importir. Sebab, ada double handling, biaya ganda dalam penanganan kontainer di pelabuhan.

Jadi intinya, patut kembali ditegaskan, jangan pernah ada rasa puas dalam diri kita. Pelindo II dan berbagai pemangku kepentingan di dalam pelabuhan, sudah mampu bekerja 24 jam, namun harus didukung berbagai instansi dan sektor pendukung supaya kerja pelabuhan selama 24 jam dapat benar-benar optimal.

Kemudian, akses transportasi menuju Pelabuhan juga harus lebih cepat lagi dibangun, tujuannya tak lagi sekadar kelancaran di pelabuhan, tetapi minimalisir ongkos-ongkos logistik yang berujung kepada menurunnya harga produk. Tujuan akhirnya, demi kesejahteraan penduduk negara kepulauan ini.....

Oleh : Haryo Damardono
Sumber : Kompas.Com