'Terapkan SNI produk kakao'
`Kami telah menerima rancangan SNI dari Badan Standardisasi Nasional pekan ini. Kami harapkan SNI produk kakao olahan segera diterapkan dari rencana Mei tahun ini,` ungkap Zulhefi Sikumbang, Sekjen Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), pekan lalu. Namun, imbuhnya, penerapan SNI merupakan salah satu cara untuk membatasi produk impor setelah penerapan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA).
Pemerintah juga harus memberikan kemudahan meningkatkan modal dengan penetapan suku bunga kredit di bawah 10%.
Dia menjelaskan dengan SNI wajib produk impor harus sesuai dengan standar di Indonesia, tetapi itu hanya membatasi sesaat secara administratif. Hal itu karena umumnya produk kakao olahan, terutama tepung (cocoa powder) punya kualitas yang bagus.
Sebaliknya, dia mengharapkan industri pengolahan kakao juga harus siap menerapkan SNI. Jika tidak, sambungnya, akan menjadi bumerang, terutama industri skala kecil.
Dia menjelaskan penguatan modal sangat diperlukan karena faktanya modal industri pengolahan kakao tergerus sekitar 30%. Dalam hal ini, ungkapnya, pemerintah perlu membentuk lembaga pembiayaan agribisnis, di luar bank konvensional.
Zulhefi tidak dapat mengukur seberapa besar keuntungan ekonomi dari penerapan SNI produk kakao olahan.
Namun, jika itu tidak diterapkan plus kemudahan akses permodalan produk impor bisa naik dua kali dalam setahun penerapan ACFTA.
Saat ini, sambungnya, impor tepung kakao sekitar 6.000 ton per tahun dari total kebutuhan industri sekitar 15.000 ton-20.000 ton per tahun.
Sudah terlambat
Sementara itu, Piter Jasman, Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) menilai pemerintah terlambat menerapkan SNI produk kakao olahan. Semestinya, SNI sudah diterapkan pada November 2009 atau sebelum CAFTA berlaku efektif 1 Januari 2010. `Lebih baik lagi, semestinya SNI sudah diterapkan 4-5 tahun lalu. Tidak hanya produk olahan, biji kakao juga perlu diberlakukan SNI. Jadi, dari hulu sampai hilir punya daya saing,` ungkapnya.
Dia menjelaskan AIKI telah meminta Menteri Perdagangan untuk menunda memasukkan produk kakao olahan dalam daftar CAFTA, tetapi tidak dipenuhi.
Dia mengungkapkan impor tepung kakao sekitar 8.000 ton per tahun dari kebutuhan industri lokal sekitar 30.000 per tahun.
Selain SNI, sambungnya, Piter juga mengharapkan industri dibantu permodalan karena sekitar 50% industri pengolahan kakao kolaps.
`Kami juga mengharapkan untuk jangka pendek ini PTPN yang mampu menghasilkan kakao fermentasi tidak hanya mengekspor biji kakao. PTPN bisa membantu industri pengolahan lokal memasok kakao fermentasi,` ungkapnya.
Oleh Bambang Supriyanto
Sumber : Bisnis Indonesia