6 Investor sarung tangan hengkang
Penghentian produksi itu disebabkan pasokan gas yang dipasok PT Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk pengolahan bahan baku berhenti total.
Dari 12 perusahaan itu, enam investor asing-semuanya berasal dari Malaysia-sedang berancang-ancang untuk hengkang dari Indonesia sementara enam investor lainnya hanya bisa pasrah menunggu upaya konkret pemerintah untuk segera memulihkan pasokan gas bagi kelangsungan industrinya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Sarung Tangan Karet Indonesia (Indonesian Rubber Glove Manufacturers Association/IRGMA) Achmad Safiun menjelaskan sejak 8 Juli 2006 hingga sekarang, 12 perusahaan itu sudah berhenti menerima pasokan gas, sehingga menurunkan tingkat utilisasi pabrik menjadi 0%-5% sejak saat itu.
Untuk sekadar menyambung aktivitas pabrik, ungkap dia, bahkan ada investor asing yang terpaksa menggunakan cangkang (minyak kelapa) sebagai alternatif energi. `Jelas hasil produksinya sangat kecil,` kata Safiun usai rapat koordinasi di Departemen Perindustrian dengan Dirjen Industri Agro dan Kimia, PT PGN, PT Pertamina, dan sejumlah dirut pabrik pupuk BUMN, pekan lalu.
Dari total 10.000 tenaga kerja, lanjutnya, pabrikan sudah mengistirahatkan sekitar 5.400 orang di Sumut. `Bayangkan saja kalau mereka akhirnya di-PHK. Sudah pasti perusahaan tidak bakal bisa membayarkan pesangon kepada semua karyawan,` kata Safiun.
Atas dasar itu, PT Healthcare Glovindo dan PT Shamrock Manufacturing Corporation, produsen sarung tangan karet Malaysia di KIM, telah menyatakan siap hengkang ke Malaysia jika pasokan gas tidak segera pulih. `Kalau orang nggak kerja terus mau ngapain ada di situ terus? Ya balik dong ke Malaysia,` ujar Safiun.
Padahal, paparnya, permintaan komoditas sarung tangan karet dunia selalu meningkat rata-rata 20% per tahun terutama di negara-negara Afrika dan Asia. IRGMA memperkirakan pada 2025 ekspor sarung tangan karet nasional mencapai US$5-US$6 miliar. `Tapi kalau mereka pergi, berarti negara tidak punya pemasukan lagi. Proyeksi kami [pada 2025] itu jadi sekadar mimpi,` katanya.
Pada 2005, ekspor sarung tangan karet nasional mencapai US$136 juta, dan pada 2006 meningkat menjadi US$175 juta dengan volume 12 miliar pieces. `Nilai ekspor ini benar-benar asli Indonesia karena tidak ada impor content-nya dan seluiruhnya hasil dari bumi kita sendiri. Bukan seperti mobil, sepatu, atau tekstil. Mesinnya pun kita sudah bisa buat sendiri,` kata dia.
Puncak krisis
Safiun memaparkan persoalan yang terjadi di Kawasan Industri Medan awal tahun ini, sesungguhnya merupakan titik kulminasi dari persoalan krisis energi yang terjadi sejak tahun lalu.
Pada tahun lalu, berdasarkan catatan Bisnis, sejumlah investor dari Malaysia di antaranya Top Glove Corp berencana menanam investasi senilai US$8 juta untuk membangun pabrik sarung tangan karet di KIM. Soalnya, Indonesia merupakan negara yang potensial mengingat sumber bahan baku karet melimpah.
Namun, mereka membatalkan rencana investasi di industri ini setelah pasokan gas masih tersendat-sendat dan kualitas tekanan gas di bawah standar. `Idealnya 1 bar-1,5 bar tapi yang mereka terima [sebelum rontok] malah 0,1 bar. Idealnya per hari, 12 perusahaan menerima pasok 5 MMcfd,` katanya.
Sumber: Bisnis Indonesia