141 BUMN Diciutkan Menjadi 78 BUMN
Program ini diharapkan akan menambah nilai ekuitas dan aset BUMN lima kali lipat dari yang ada saat ini karena efisiensi dan penajaman bisnis. `Saat ini nilai ekuitas semua BUMN mencapai Rp 500 triliun dan nilai aset Rp 2.200 triliun. Kami harap, dengan adanya penajaman nanti, nilai ekuitasnya bisa bertambah lima kali lipat menjadi Rp 2.500 triliun dan asetnya Rp 11.000 triliun,` ungkap Deputi Bidang Privatisasi dan Restrukturisasi Kementerian BUMN Mahmuddin Yasin di Singapura, Selasa (27/4).
Menurut Yasin, ada empat cara yang akan dilakukan dalam program penajaman bisnis BUMN, yakni dipertahankan tetap berdiri sendiri, likuidasi, divestasi, serta merger dan konsolidasi. Ada sekitar 39 BUMN yang akan dibiarkan tetap berdiri sendiri, yakni BUMN yang tergolong besar, berbentuk perusahaan umum (perum), dan BUMN pemegang tanggung jawab public service obligation (PSO/memberikan pelayanan publik).
`Roadmap terbaru sudah kami susun untuk periode 2010-2014 dan akan dilaksanakan setelah ditandatangani Menteri (Menteri BUMN Mustafa Abubakar). Kami harap dalam bulan April ini,` ungkap Yasin.
BUMN yang dikategorikan sebagai perusahaan besar antara lain adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Garuda Indonesia (Persero), PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Krakatau Steel (Persero), PT Perusa-haan Gas Negara (Persero) Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, Pertamina, dan PT PLN. Totalnya diperkirakan ada 25 BUMN.
BUMN yang berstatus perum ada 14 perusahaan, antara lain Bulog. Sementara BUMN yang saat ini menanggung tanggung jawab PSO ada 10 perusahaan.
`Dari 10 BUMN PSO itu, lima di antaranya adalah BUMN besar. BUMN PSO yang akan kami biarkan berdiri sendiri antara lain PT Pelni dan PT Kereta Api,` ungkap Yasin.
Adapun salah satu BUMN yang akan didivestasi (dilepas kepemilikan saham pemerintah) adalah PT Cambrics Primissima yang bergerak di industri pemintalan dan pertenunan. Perusahaan ini merupakan patungan pemerintah dengan Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) dengan komposisi sahamnya saat ini pemerintah 52,79 persen dan GKBI 47,21 persen.
`Kami menganggap pemerintah tidak pantas lagi terjun langsung di sektor tekstil. Kami juga memandang sudah tak perlu lagi memegang bisnis buku di Balai Pustaka atau Percetakan Negara,` ungkap Yasin.
Pilihan merger
Pemerintah juga merancang ada empat kelompok usaha BUMN yang patut digabungkan, yakni BUMN di bidang perkebunan, farmasi, industri dok, dan tambang. Di kelompok perkebunan ada 14 PT Perkebunan Nusantara (PTPN) plus PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang akan digabungkan dalam naungan sebuah perusahaan induk (holding).
`Jika holding perkebunan ini tuntas, kami perkirakan akan ada pembentukan modal sekitar Rp 15 triliun yang cukup untuk membuka 400.000 hektar lahan sawit baru, dengan asumsi setiap hektar membutuhkan Rp.40 juta investasi,` ujar Yasin.
Untuk BUMN farmasi, pemerintah mengkaji kemungkinan penggabungan Kimia Farma dengan Indofarma, yang masing-masing punya kelebihan pada penjualan ritel dan produksi. Untuk industri perkapalan, pemerintah mengkaji penggabungan tiga perusahaan, yakni PT Dok dan Perkapalan Surabaya, PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari, serta Industri Kapal Indonesia OKI) Makassar.
`Adapun untuk perusahaan tambang, yang sebagian besar sudah masuk bursa, kami sudah mengkaji penggabungan dalam sebuah perusahaan baru bernama Indonesian Resources Company ORO untuk mengikuti kecenderungan di dunia yang dilakukan untuk menopang pertumbuhan korporasi dan keuntungan,` tutur Yasin.
Analis Equity Capital Market PT Danareksa, Chandra Pasaribu, mengatakan. BUMN yang mencatatkan sahamnya di pasar modal mampu bersaing dengan perusahaan swasta karena memiliki setidaknya delapan keunggulan. Dalam lima tahun terakhir, tingkat pengembalian modal (ROE), tingkat pengembalian aset (ROA), dan tingkat profitabilitas perusahaan-perusahaan BUMN lebih unggul dibandingkan dengan swasta.
Sumber : Kompas
--------------------
28 April 2010
Aset BUMN dikerek menuju Rp11.000 triliun
SINGAPURA Pemerintah mengincar peningkatan aset BUMN menjadi Rpll.000 triliun pada 2014 dari Rp2.200 triliun melalui merger, konsolidasi, pembentukan induk perusahaan [holding), divestasi, dan likuidasi mulai tahun ini.
Deputi Menteri BUMN bidang Privatisasi dan Restrukturisasi M Yasin mengatakan pemerintah juga berencana meningkatkan ekuitas. BUMN hingga Rp2.S00 triliun pada 2014 dari RpSOO triliun pada tahun ini. Rencana tersebut akan dituangkan dalam rencana induk (master plan) BUMN 2010-2014.
`Master plan itu segera ditandatangani Menteri BUMN pada akhir bulan ini atau bulan depan. Kami yakin restrukturisasi inidapat meningkatkan aset dan dan ekuitas hingga lima kali lipat dari total aset Rp2.200 triliun dan ekuitas Rp500 triliun saat ini,` kata Yasin, di sela-sela Non-Deal Roadshow BUMN di Singapura, Senin malam.
Langkah restrukturisasi itu untuk merampingkan BUMN menjadi sekitar 70 -80 BUMN pada 2014 dari total 141 BUMN saat ini. Dia mengatakan restrukturisasi tersebut dinilai penting terkait dengan data Kementerian BUMN yang menunjukkan 25 BUMN menguasai lebih dari 95% aset, 95% ekuitas, 92% penjualan dan 90% laba bersih dari total 141 BUMN tersebut.
Guna mengincar peningkatan aset dan ekuitas itu, lanjutnya, Kementerian BUMN segera melaksanakan langkah strategis restrukturisasi, yaitu pertama,menetapkan 44 BUMN dipertahankan berdiri sendiri [stand alone). Kedua, merger dan konsolidasi. Langkah restrukturisasi ini, katanya, sedang dipertajam bagi sedikitnya lima sektor, yaitu sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan farmasi.
Merger juga akan digelar pada sektor perkapalan. Kementerian BUMN merencanakan merger antara PT Dok Perkapalan Surabaya, PT Dok Perkapalan Kodja Bahari dan PT Industri Kapal Indonesia Ketiga, divestasi. Yasin mengatakan Kementerian BUMN sedang mengkaji pelepasan saham PT Cambrics Primissima. Cambrics merupakan BUMN yang bergerak di bidang tekstil.
Keempat, likuidasi. Kementerian BUMN segera melikuidasi PT Industri Soda Indonesia yangberkisar sekitar Rp 100 miliar-Rp200 miliar. `Selanjutnya, beberapa BUMN yang rugi juga akan kami serahkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset,` ujar Yasin. Yasin mengungkapkan Kementerian BUMN juga sedang memperdalam kajian mengenai likuidasi PT Kertas Kraft Aceh.
Terkait dengan penguatan aset dan ekuitas melalui restrukturisasi tersebut, Yasin mengatakan Kementerian BUMN rencana itu merupakan bagian dari penguatan ekspansi perusahaan pelat merah melalui pencarian modal yang besar.
`Kami ingin menguasai 50%-60% dari kapitalisasi pasar BUMN di pasar modal pada 2014. Saat ini, sebanyak 16 BUMN menguasai sepertiga dari total kapitalisasi pasar modal dengan P/E (rasio harga saham dibandingkan dengan laba], PBV [rasioharga saham per nilai buku] dan peningkatan laba rata-rata 20% per tahun,` katanya.
Namun, katanya, rencana tersebut memerlukan koordinasi lebih lanjut antarpemerintah terkait dengan PP No. 98/1999 tentang Pengalihan Kedudukan, T\igas, dan Kewenangan Menteri Keuangan selaku Rapat UMum Pemegang Saham pada Perusahaan Perseroan dan Perseroan Terbatas yang Sebagian Sahamnya Dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha milik Negara.
Yasin mengatakan Kementerian BUMN tetap akan mempertahankan nilai wajar pasar [fair market value) dan porsi pemerintah tetap menjadi mayoritas melalui penguasaan lebih dari 50% saham BUMN dalam restrukturisasi itu.
Sumber : Bisnis Indonesia
-----------------------------
28 April 2010
Pemerintah Pertahankan Usaha 44 BUMN
JAKARTA-Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan mempertahankan bentuk dan status 44 perusahaan pelat merah. Kebijakan yang tertuang pada peta jalan (roadmap) pengembangan BUMN tersebut menyebutkan, ke-44 perusahaan tidak akan digabung, dilikuidasi, atau didivestasi, karena tergolong BUMN besar, telanjur berbentuk perusahaan umum, dan memegang tanggung jawab public service obligation (PSO).
`Sebanyak 44 BUMN statusnya tetap stand alone (berdiri sendiri). Selain karena skala usaha besar, mereka mendapat penugasan khusus dari pemerintah,` kata Deputi Menteri BUMN Bidang Restrukturisasi dan Privatisasi Mahmudin Yasin di sela ajang Non-deal Roadshow 10 BUMNdi Singapura, Selasa (27/4).
Sejalan dengan roadmap kementerian, pemerintah siap menerapkan kebijakan penyesuaian jumlah (right sizing) BUMN melalui pembentukan holding, merger atau konsoliasi, pengelompokan (regrouping), dan likuidasi (opsi terakhir). Dengan kebijakanmempertahankan bisnis 44 perusahaan, pemerintah masih menyisakan 78 perusahaan negara pada 2014. Jumlah perusahaan yang tersisa itu lebih banyak dibanding yang tercantum pada roadmap sebelumnya sebanyak 50 perusahaan pada 2014.
Dia menjelaskan, BUMN kategori besar antara lain adalah PT Pertamina, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Telkom, PT Bank Mandiri, PT Bank BNI, PT Bank BRI, PT Batubara Bukit Asam, PT Jasa Marga, PT Perusahaan Gas Negara, PT Aneka Tambang, PT Garuda Indonesia, dan PT Krakatau Steel. Jumlah BUMN berskala usaha besar tersebut mencapai 25 perusahaan.
`Ke-25 BUMN itu menguasai sebanyak 95% total aset, 90% penjualan, dan 90% laba yang dihasilkan dari 141 BUMN,` ujar dia. Sedangkan, BUMN yang berstatus perum meliputi Bulog dan Pegadaian. Kemudian, 10 BUMN yang menjalankan fungsi PSO antara lain adalah PT Pelni, PT Kereta Api Indonesia, dan LKBN Antara.
Di sisi lain, perusahaan yang sedangdalam proses pembentukan holding meliputi PT Perkebunan Nusantara I-XTV ditambah Rajawali Nusantara Indonesia, BUMN Semen, BUMN Pupuk, BUMN Kepelabuhanan (Pelindo HV). BUMN Kehutanan (Inhutani I-V). Selain itu, ada pengelompokan BUMN Karya dan merger BUMN Farmasi.
Sesuai rencana induk, lanjut Yasin seperti dikutip dari Antara, pihaknya juga menilai ada sejumlah perusahaan yang harus direstrukturisasi dan dilikuidasi. BUMN itu antara lain adalah PT Industri Soda Indonesia (ISI) yang dilikuidasi tahun ini. Sedangkan, perusahaan pemintalan dan pertenunan, PT Cambrics Primissima, akan didivestasi sahamnya.
Dia menambahkan, saat ini ada 11 perusahaan dalam program restrukturisasi. Perusahaan itu antara lain PT Merpati Nusantara Airlines, PT PAL Indonesia, PT Industri Gelas, PT Djakarta Dlloyd, PT Hotel Indonesia Natour, PT Semen Kupang, PT Kertas Kraft Aceh, dan PT Industri Sandang.
Aset Rp 11.000 Triliun Pada bagian lain. Kementerian Negara BUMN memperkirakan total aset 141 perusahaan milik negara pada 2014 akan melonjak lima kali lipat menjadi sekitar Rp 11.000 triliun, dari nilai aset saat ini sekitar Rp 2.200 triliun. `Pada 2014, total ekuiti juga meningkat menjadi sekitar Rp 2.500 triliun, dari sekarang sekitar Rp 500 triliun,` kata Yasin.
Dia menambahkan. Kementerian BUMN selaku pembina perusahaan milik negara terus mendorong agar pengelolaan perusahaan lebih baik dari tahun ke tahun. `Mereka (BUMN) juga didorong menjadi perusahaan publik, sehingga pengelolaannya lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan,` papar dia.
Dia menyebutkan, 16 BUMN yang mencatatkan sahamnya di pasar modal, kini sudah menguasai 31% kapitalisasi pasar. `Kalau jumlah perusahaan BUMN yang listing mencapai 25-30 perusahaan, terutama perusahaan besar, bukan tidak mungkin kapitalisasi pasar BUMN di Bursa Efek Indonesia bisa mencapai 50% pada 2014,` papar dia.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu mengatakan, Kementerian BUMN menargetkan laba bersih perusahaan milik negara pada 2010 mencapai Rp 92,7 triliun, tumbuh sekitar 25,27% dari realisasi laba 2009 Rp 74 triliun. Pada saat yang sama, pendapatan dipatok Rp 1.050 triliun dan total aset diproyeksikan menjadi Rp 2.050 triliun dari tahun sebelumnya Rp 2.400 triliun.
Sumber : Investor Daily Indonesia
--------------------------------------
Kamis, 11 Maret 2010
Holding Empat Sektor BUMN Rampung 2010
JAKARTA (Suara Karya): Kementerian BUMN menargetkan pembentukan holding (induk usaha) empat sektor perusahaan milik negara, yaitu semen, perkebunan, pertambangan, dan farmasi, bisa rampung pada 2010.
`Pembentukan holding yang merupakan bagian dari program right sizing (penyederhanaan jumlah) BUMN diharapkan bisa terwujud tahun ini,` kata Deputi Menteri BUMN Bidang Restrukturisasi dan Privatisasi Mahmudin Yasin di Jakarta, Rabu (10/3).
Menurut Yasin, studi pembentukan holding keempat sektor tersebut sudah ada, tinggal menyesuaikannya dengan program Kementerian BUMN dan waktu proses implementasi. `Kita sangat ingin menuntaskan program-program right sizing yang merupakan pengalihan dari tahun-tahun sebelumnya,` katanya.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menuturkan, program right sizing dilakukan melalui opsi merger, akuisisi, maupun pengelompokan (regrouping). Dalam jangka panjang, program tersebut akan menjadikan BUMN yang saat ini (2010) berjumlah 141 perusahaan, menjadi 87 perusahaan pada 2015 dan menjadi 25 perusahaan pada tahun 2025.
Menurut Said, program right sizing menjadi prioritas dalam upaya Kementerian BUMN memperbarui cetak biru (roadmap) BUMN periode 2010-2014, dan menyesuaikannya dengan Undang-Undang BUMN, Undang-undang Keuangan, dan UU Otonomi Daerah.
Dia juga mengatakan, lima peran BUMN dalam perekonomian nasional, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi, mengejar keuntungan, perintisan usaha, menjalankan fungsi public service obligation (PSO), dan mendorong pengembangan usaha kecil dan menengah. `Right sizing intinya bukan sekadar untuk pengurangan jumlah BUMN, melainkan bagaimana mendapatkan jumlah yang optimal untuk meningkatkan nilai BUMN secara keseluruhan,` tuturnya.
Berdasarkan catatan, pendapatan usaha seluruh BUMN pada tahun buku 2009 mencapai Rp 930 triliun, dengan laba bersih Rp 74,28 triliun, melampaui target laba bersih yang ditetapkan sebesar Rp 70 triliun. Dari 18 sektor BUMN, lima sektor, yakni energi, perbankan, telekomunikasi, pertambangan, dan asuransi, memberikan kontribusi laba bersih sebesar Rp 61,45 triliun atau 82,37 persen dari total laba bersih 2009. (Indra)
Sumber : Suara Karya
------------------------
23 Mar 2010
Menebak Prospek Holding BUMN
Kementerian BUMN menargetkan pembentukan holding (induk usaha) empat sektor perusahaan milik negara, semen, perkebunan, pertambangan, dan farmasi bisa rampung pada 2010. Keyakinan Kementerian BUMN untuk memfinalisasi holding pada tahun ini didukung fakta studi pembentukan holding ke empat sektor tersebut sudah ada.
Selanjutnya tinggaJ menyesuaikannya dengan program Kementerian BUMN dan waktu proses implementasi. Hal ini diungkapkan Deputi Menteri BUMN Bidang Restrukturisasi dan Privatisasi, Mahmudin Yasin. `Kita sangat ingin menuntaskan program-program right sizing yang merupakan pengalihan dari tahun-tahun sebelumnya,` katanya.
Di pihak lain, Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menuturkan, program right sizing dilakukan melalui opsi merger, akuisisi, maupun pengelompokan (regrouping). Dalam jangka panjang program tersebut akan menjadikan BUMN yang saat ini (2010) berjumlah 141 perusahaan, menjadi 87 perusahaan pada 2015 dan menjadi 25 perusahaan pada tahun 2025. Ia menambahkan program right sizing menjadi prioritas dalam upaya Kementrian BUMN memperbaharui cetak biru roadmap BUMN periode 2010-2014, dan menyesuaikan dengan Undang-Undang BUMN, Undang-undang Keuangan dan UU Otonomi Daerah.
Said melanjutkan, lima peran BUMN dalam perekonomian nasional, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi, mengejar keuntungan, perintisan usaha, menjalankan fungsi public service obligation (pso) dan mendorong pengembangan usaha kecil dan menengah. `Right sizing intinya bukan sekedar untuk pengurangan jumlah BUMN, tetapi bagaimana mendapatkan jumlah yang optimal untuk meningkatkan nilai BUMN secara keseluruhan,` katanya.
Kendala Pajak
Di tengah keyakinan Kementerian BUMN untuk membentuk Iwlding BUMN pada tahun ini, justru perusahaan plat merah khawatir akan molor. Masalahnya terkait terkendala masalah pa-\A l,in proses pengalihan aset dan pembentukan perusahaan baru.`Sampai sekarang masalah itu (pajak) masih jadi kendala, karena nilai pajak yang harus disetorkan ke pemerintah sangat.besar.Apakah 49% pemegang saham di luar pemerintah bersedia menyetujui hal itu,` kata Direktur Utama PT Semen Gresik Tbk, Dwi Soetjipto.Pemyataan serupa juga diungkapkan Kementerian Keuangan selaku kuasa pemegang BUMN menginginkan agar program tersebut dipaparkan secara detil dampak keuangan, dampak fiskal termasuk pertanggung jawaban masalah perpajakan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Anggito Abimanyu mengatakan, Kementerian Keuangan tidak berniat menghambat upaya yang dapat membuat BUMN menjadi lebih sehat. `Sebagai pemegang saham BUMN, menteri keuangan ingin mengetahui secara detail dampak keuangan dari langkah pengerucutan BUMN itu,` katanya.
Padahal Menteri BUMN Mustafa Abubakar sempat mengatakan pemerintah merampungkan pembentukan holding BUMN semen sebelum akhir tahun ini. Menurut Mustafa, dalam holding tersebut nantinya terdiri atas perusahaan semen milik negara, seperti Semen Gresik, Semen Padang, Semen Baturaja, Semen Tonasa, dan Semen Kupang.Nantinya akan dibentuk satu induk perusahaan yang sama sekali terpisah dengan masingmasing perusahaan semen. `Induk perusahaan tersebut nantinya akan memayungi perusahaan semen secara organisasi dan struktural,` tegasnya.
Dwi Soetjipto mengatakan holding semen sebenarnya sudah dijalankan Semen Gresik bersama Semen Padang dan Semen Tonasa. Namun, skemanya bersifat operation Iwlding, bukan inuestment Iwlding seperti yang diinginkan pemerintah.Untuk keperluan holding dengan membentuk satu anak perusahaan baru, akan terjadi pengalihan aset yang sangat besar. Aset itu akan dihitung ulang, kemudian dikenai pajak. Ini yang masih jadi persoalan dan terus dibahas, termasuk dengan Kementerian Keuangan,` jelasnya.Kalau pemegang saham pemerintah tentu tidak jadi soal, karena pajaknya kembali ke pemerintah lagi, lapi ia menilai pemegang saham lainnya, tentu pikir-pikir karena harus membayar pajak besar tapi tidak ada pendapatan masuk. Namun secara prinsip, ia sangat mendukung rencana holding tersebut, karena bertujuan meningkatkan daya saing BUMN semen secara keseluruhan.
Holding Perkebunan
Untuk yang terdekat, Kementerian BUMN menargetkan pembentukan Holding BUMN perkebunan yang akan dilakukan dengan opsi berdasarkan regional dan komoditi yang dihasilkan perusahaan. Adapun BUMN Perkebunan yang akan dibentuk dalam satu holding PT Perkebunan (PTPN) I-XIV dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), dengan komoditas utama meliputi sawit, teh, karet, tebu dan kopi. Mustafa menambahkan, pembentukan holding BUMN Perkebunan akan didasarkan pada hasil kajian menyangkut status perusahaan, dapat menyelesaikan berbagai permasalah yang umbul, dan memiliki payung hukum. Menurut dia, i nanfaat Iwlding diutarakan, secara garis dapat mendorong proses peningkatan nilai perusahaan, peningkatan pangsa pasar, memperkuat akses modal dan akses pasar. Ia menambahkan, dari sisi perpajakan holding Perkebunan bisa diupayakan dengan menetapkan Penyertaan Modal Negara di perusahaan yang masuk dalam holding.
Lebih jauh ia mengatakan, dari analisis komparatif, holding berdasarkan regional (apa adanya) hanya perlu persetujuan Kementerian Keuangan dan DPR. Sedangkan holding berbasis komoditi, selain perlu persetujuan Kementerian Keuangan dan DPR, juga membutuhkan waktu panjang karena proses penyelesaian pemisahan hak guna usaha, termasuk ulang piutang.Ia mengasumsikan, dengan pembentukan holding BUMN Perkebunan, diharapkan laba bersih secara konsolidasi tumbuh 10 persen pada 2010, 14 persen pada 2012 dan 20 persen pada 2015.Sementara itu, Ketua Komisi VI DPR-RJ, Airlangga Hartarto menuturkan tiga poin penting dari program revitalisasi BUMN Perkebunan yakni mampu menghasilkan keuntungan, dapat mengejar ketertinggalan dapat meningkatkan kesejahteraan dan menumbuhkan ekonomi m.i syarakat* ppi.
http://bataviase.co.id/node/141429
------------------------------
Tuesday, January 25, 2005
Holding Company BUMN
Apakah holding company BUMN merupakan solusi tepat untuk membenahi carut-marutnya pengelolaan BUMN di negeri ini. Atau, justru akan menimbulkan masalah yang lebih besar
Pemerintah belum lama ini merencanakan pembentukan satu holding company (induk perusahaan) yang akan memayungi lebih dari 150 BUMN. Struktur pengelola perusahaan induk itu akan diisi manajer profesional. Sistem yang diterapkan juga sistem korporat, sebagaimana yang lazim pada perusahaan bisnis komersil (koran ini, 21/12/2004).
Rencana itu, selain menunjukkan bahwa aspirasi Indonesia Incorporated belum sepenuhnya terkubur dari benak sebagian masyarakat dan pejabat di negeri ini, juga menandakan pergeseran strategi penyehatan BUMN dari privatisasi ke korporatisasi. Dengan privatisasi, pemerintah menyerahkan kepemilikan sebagian atau sepenuhnya kepada masyarakat. Sementara itu, pada korporatisasi -yang biasanya diiringi pembentukan holding perusahaan- pemerintah menyerahkan pengelolaan kepada para profesional. Penerapan mekanisme korporat tetap mempertahankan kepemilikan.
Harapan utama korporatisasi adalah peningkatan kinerja dan tanggung jawab pengelola perusahaan negara, yang selama ini dirasakan belum optimal, meski privatisasi telah dilakukan.
Namun, benarkah strategi korporatisasi itu mampu memperbaiki lemahnya tata kelola BUMN? Apakah dengan korporatisasi serta merta terhilangkan keharusan privatisasi lebih lanjut?
Jawaban pertanyaan tersebut amat tegas: tidak. Berikut beberapa argumen yang disintesiskan dari wacana ekonomi dan pengalaman objektif di Indonesia untuk menopang pendapat itu.
Pertama, meski korporatisasi akan memberikan definisi property rights yang lebih tegas pada BUMN, berupa pemisahan batas-batas antara kepemilikan (negara) dan kepengelolaan, di satu sisi, hal itu akan menciptakan iklim lebih kondusif bagi tata kelola perusahaan.
Di sisi lain, pembentukan holding company akan mengakibatkan terpusatnya kendali pertangungjawaban dan pengawasan yang rawan penyelewengan dalam skala lebih besar. Terutama, bila pembentukan lembaga sentral tersebut sejak awal dimotivasi aspirasi politik dan semangat yang jauh dari rasionalitas ekonomi.
Kemungkinan ke arah terakhir itu dapat disimak dari pengalaman pemerintah mendirikan institusi sejenis, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sebab, konsep BPPN tidak jauh berbeda dengan konsep perusahaan induk BUMN yang akan dibentuk, walau memiliki perbedaaan tujuan. Ide dasar kedua badan tersebut adalah pembentukan lembaga super yang menjadi sentral pengelolaan aset negara. Keduanya juga menerapkan mekanisme korporat dan memakai jasa profesional di luar birokrasi pemerintah.
Dalam perjalanannya, BPPN sarat dengan berbagai isu tak sedap, mulai suap, kolusi, penyalahgunaan wewenang, hingga penghamburan uang negara. Mekanisme korporat yang diterapkan berikut strategi mempekerjakan para profesional sama sekali tidak berarti.
Gaji selangit dan fasilitas memadai, bahkan melebihi yang diberikan perusahaan publik papan atas, tidak berbanding lurus dengan kinerja badan tersebut. Itu terlihat dari tingkat recovery rate yang hanya sebesar 28%, bahkan perhitungan lain dari Center for Banking Crisis (CBC) menunjukkan tingkat yang lebih rendah lagi sekitar 1% hingga 2,9%.
Dari situ, korporatisasi terbukti bukan jaminan perbaikan kinerja lembaga yang mengelola aset negara. Sebaliknya, korporatisasi yang diiringi sentralisasi pengelolaan justru bisa mendatangkan kerugian dalam skala yang lebih tidak terperikan.
Kedua, keberhasilan strategi korporatisasi akan sangat bergantung pada kemampuan menciptakan satu struktur reward and punishment, yang setara antara perusahaan negara dan perusahaan publik, sehingga dapat menghapuskan perbedaan insentif yang berkaitan dengan kepemilikan. Sebab, dalam perusahaan yang sahamnya dimiliki publik, terdapat insentif dan pengawasan pasar bagi pengelola untuk meningkatkan nilai aset dan menekan biaya perusahaan.
Sementara itu, pada perusahaan negara, yang kepemilikannya ada pada pemerintah dan pengelola sebatas pekerja yang tidak memiliki klaim terhadap aset serta untung-rugi perusahaan, ada keterbatasan insentif dan pengawasan pemerintah yang megakibatkan rendahnya motivasi pengelola untuk meningkatkan kinerja perusahaan negara.
Dalam praktiknya, sulit bagi pemerintah merancang satu struktur insentif dan pengawasan yang dapat secara penuh menjembatani perbedaaan tersebut. Sebab, ada ketimpangan informasi antara pengelola dan pemerintah, sehingga mustahil diciptakan satu bentuk pengawasan memadai bagi pengelola yang lebih mengetahui isi perusahaan berikut seluk-beluk permasalahannya.
Ketiga, langkah pembentukan perusahaan induk akan menyebabkan munculnya masalah collective action problem (persoalan tindakan kolektif) baru pada beberapa BUMN yang telah diprivatisasi sebagian. Pemegang saham BUMN minoritas akan semata-mata mengandalkan (free ride) pengawasan perusahaan induk, tanpa aktif berpartisipasi dan mengeluarkan biaya.
Dengan kata lain, sebagaimana yang kerap diamati dalam banyak konteks ekonomi, ketika bombardir peran pemerintah menggusur mekanisme alami yang ada, akan terdapat satu efek pendesakan keluar (crowding-out effect) mekanisme pasar dengan pembentukan perusahaan induk BUMN.
Hal itu selain memberatkan beban pemerintah, mengingat tidak mudah dan murah untuk mengawasi BUMN dengan berbagai spefikasi bidang dan lapangan usaha, juga menihilkan berbagai upaya restrukturisasi dan privatisasi parsial yang telah dilakukan. Sebab, bukankah salah satu tujuan restrukturisasi dan privatisasi parsial selama ini ialah menyerahkan sebagian tanggung jawab dan biaya pengawasan kepada pasar?
Terakhir, korporatisasi selain tidak menjamin bebas intervensi, juga menimbulkan permasalahan ekonomi politik baru. Korporatisasi dan pembentukan induk BUMN bisa mengakibatkan terkooptasinya kementerian BUMN dan pihak legislatif (DPR/DPRD) sebagai penetap berbagai perundang-undangan bila tidak diwaspadai.
Fenomena itu dikenal sebagai regulatory capture dan bisa terjadi bila pengelola perusahaan induk, sebagai pihak yang lebih mengetahui duduk persoalan dan detail kondisi BUMN, mampu memanipulasi kalangan birokrat di kementerian BUMN serta pihak legislatif untuk membuat peraturan yang akan menguntungkan tujuan mereka, walau merugikan rakyat dan negara.
Praktik tersebut, setidaknya pada kalangan DPR, berpeluang cukup besar mengingat masih kurangnya lembaga pendukung wacana industri dan BUMN pada anggota legislatif. Selain itu, seperti ditengarai banyak pihak, maraknya budaya amplop dalam berbagai sidang komisi disebabkan rentannya anggota dewan terhadap penyuapan.
Karena itu, patut diduga upaya penyehatan BUMN melalui pembentukan satu lembaga super holding company bukan hanya akan gagal, tapi juga bisa menjerumuskan. Sebab, selain sukar menciptakan satu struktur insentif dan mekanisme pengawasan yang sempurna, juga karena lemahnya institusi pendukung seperti hukum dan politik.
Jadi, bila pemerintah berkeras mengadopsi strategi tersebut, setidaknya proses privatisasi harus tetap dilakukan. Sebab, meski privatisasi mungkin kompleks dan sarat berbagai isu, bila diimplementasikan dengan benar, sejatinya itu masih merupakan solusi paling tepat untuk persoalan BUMN yang masih menjerat.
Sumber : Jawapos, 25 Jan 2004