KPBN News

Pengusaha Sawit Desak Pemerintah Susun UU Baru Tentang Hutan



“Agar tidak terjadi multiinterpretasi tentang pemanfaatan kawasan hutan primer, sebaiknya Kementerian Kehutanan (Kemenhut) membuat Undang-Undang baru tentang kehutanan, paling tidak membuat peraturan pelaksanaan dan penjelasan Undang-Undang No.41/1999 tentang kehutanan,” ungkap Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, hari ini.

Penegasan itu diungkapkan Joko berkaitan dengan surat Menhut kepada sembilan perusahaan perkebunan yang tujuh di antaranya di Papua dan dua lainnya berada di Gorontalo. Menhut mengingatkan kepada sembilan perusahaan perkebunan yang masih dalam tahap permohonan izin prinsip agar memenuhi aturan mozaik dalam mengelola hutan primernya dan menerapkan konsep HCVF (High Conservation Value Forest) mengelola kawasan konservasi yang luasnya berkisar 20% hingga 60% dari total konsesi seluas 320.000 yang diberikan kepada kesembulan perusahaan perkebunan tersebut.

Paling tidak, katanya, harus ada penjelasan yang konkrit tentang Undang-Undang No.41/1999 tentang kehutanan. “Tujuannya agar tidak terjadi multitafsir tentang pemantapan kawasan hutan primer dan gambut.”

Pembuatan Undang-Undang Kehutanan yang baru itu, katanya, sebagai jalan keluar yang terbaik, guna menghindari terjadinya multiinterpretasi terhadap kebijakan kehutanan. “Kebijakan yang dilakukan pemerintah dengan merujuk Undang-Undang No.41/1999 tentang kehutanan belakangan ini terkesan tidak konsisten.’

Sikap tidak konsistennya pemerintah, ungkap Joko, tidak terlepas dari penandatanganan kesepakatan Letter of Intent (LoI). “Pemerintah berusaha keras melaksanakan kebijakan yang berbau dengan persyaratan yang dituangkan dalam LoI. Pemerintah tidak ingin kehilangan muka dengan penandatanganan kesepakatannya dengan pemerintah Norwegia.”

Pernyataan Joko itu disampaikan mengomentari surat peringatan Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan kepada sembilan perusahaan perkebunan yang mengajukan permohonan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan usaha perkebunannya. Dalam surat yang dilayangkan kepada kesembilan perusahaan itu Menhut meminta agar pemanfaatan hutan primer menggunakan konsep mozaik (penerapan beragam model dalam satu hamparan) di areal konsesinya dan menerapkan konsep HCVF pada kawasan hutan konservasinya.

Pemerintah, katanya, harus jelas membuat membuat peraturan pelaksanaan dan penjelasan yang terang benderang agar tidak terjadi multitafsir dan multiinterpretasi tentang pemanfaatan hutan primer. “Jika tidak, Kemenhut akan membuat ketidakpastian berusaha yang tidak kondusif bagi investor perkebunan yang beroperasi di kawasan hutan.”

Menurutnya, pemerintah wajib memberikan ganti areal hutan primer dan konservasi yang dikelola perusahaan perkebunan dengan areal lainnya. “Pemerintah wajib memberikan landswap (pertukaran areal konsesi) jika pemerintah ingin memanfaatkan konsesi yang telah diberikan kepada perusahaan perkebunan.”

Selain itu, terbitnya Inpres maupun Perpres yang berhubungan dengan kesepakatan LoI sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan. “Apa pun yang dibuat pemerintah untuk mengatur pemanfaatan kawasan hutan primer dan gambut tentunya harus tunduk kepada Undang-Undang No.41/1999 tentang kehutanan, bukan tunduk pada Perpres dan Inpres,”katanya.

Terlebih lagi, lanjut Joko, jika Kemenhut menerapkan aturan pengelolaan kawasan konservasi dengan menggunakan konsep HCVF merupakan ketentian Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). “Jadi, aneh jika Kemenhut menerapkan aturan yang diberlakukan RSPO, bukan Undang-Undang yang memang diatur pemerintah sendiri. Saya sangat meragukan apakah pemerintah bisa menerapkan peraturan tersebut.”

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi, mengatakan surat peringatan Menhut kepada kesembilan pengusaha perkebunan tersebut menimbulkan ketidakpastian berusaha pada sektor kehutanan. “Kebijakan itu dapat menimbulkan iklim usaha yang tidak kondusif pada usaha perkebunan.”

Elfian juga mengatakan kebijakan Kemenhut terhadap kesembilan perusahaan perkebunan itu mencerminkan adanya multiinterpretasi yang dilakukan Kemenhut terhadap Undang-Undang No.41/1999 tentang kehutanan. “Undang-Undang Perkebunan No.18/2004 tentang perkebunan juga tidak mengatur bagaimana mengelola hutan primer dan konservasi tersebut.”

Sejalan dengan pernyataan Joko, Greenomics juga menilai perlu adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang Undang-Undang No.41/1999 tentang kehutanan. “Karena tidak ada kejelasan tentang petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang kehutanan, maka kebijakan pemerintah paskah penandatanganan LoI menjadi semakin simpang siur.`

Oleh : Joko Supriyono, (GAPKI)Sumber : Bisnis