SKA perlu dimanfaatkan dalam ACFTA
Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar menuturkan di satu sisi potensi pemanfaatan SKA dalam kerja sama perdagangan Asean China sangat besar, karena adanya kesepakatan tarif yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan tarif umum yang berlaku (MFN).
Namun, di sisi lain, tarif yang diberikan secara unilateral dalam artian tidak dalam skema kerja sama tertentu (tarif MFN) juga telah mulai turun, sehingga perbedaan antara tarif FTA dan non FTA semakin tipis.
Hal tersebut menyebabkan pemanfaatan skema tarif melalui SKA form E dalam kerangka kerjasama ACFTA belum maksimal. “Selama ini, pemanfaatan dari SKA untuk kebutuhan FTA masih harus ditingkatkan karena perbedaan antara tarif FTA dengan tarif non FTA yang disebut MFN semakin tipis,” katanya, hari ini.
Menurut Mahendra, ada dua penyebab yang mungkin terjadi sehingga menyebabkan pemanfaatan SKA dalam skema FTA masih minim. Yakni aspek teknis di mana ada kesulitan dalam rumusan dan pengisian form SKA atau perdagangan internasional tidak lagi terlalu terhambat oleh persoalan tarif FTA atau pun non FTA.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, jumlah SKA form E yang dimanfaatkan dalam ACFTA selama 2009 mencapai 16.606 SKA dengan total volume mencapai di atas 109 juta ton senilai US$2,6 miliar. Total eksportir yang memanfaatkan SKA ini tercatat sebanyak 1.787 eksportir.
Sumber : Bisnis Indonesia
------------------------
Minggu, 14/02/2010 17:40:36 WIB
Mebel asal China mulai banjiri pasar dalam negeri
JAKARTA (Bisnis.com): Kalangan produsen mebel di Tanah Air mulai mengkhawatirkan produk mebel impor dari China yang perlahan-lahan membanjiri pasar.
Ketua Umum Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahjono mengungkapkan sejumlah toko mebel di Tanah Air, mulai dari Jakarta, Medan, Palembang, mulai dipenuhi oleh produk-produk mebel impor dari China sehingga produk dalam negeri mulai tertekan.
“Barang China masuk dengan cepat. Hanya dalam beberapa pekan saja sejak liberalisasi tarif efektif berlaku, sejumlah toko sudah dipenuhi barang dari China. Lihat saja di Kelapa Gading,” kata Ambar kepada Bisnis, kemarin.
Menurut Ambar, China sangat lihai menggarap pasar Indonesia dan menerapkan pola networking partnership dengan sejumlah perusahaan dan pelaku usaha di Tanah Air yang telah lebih dahulu menguasai pasar.
Di sisi lain, sejumlah pelaku usaha di Tanah Air berpikir lebih mudah melakukan partnership dengan China di tengah kondisi saat ini, ketimbang harus bersaing dengan produk impor China.
“Dari pada bersaing, mereka kemudian mulai menjalin kemitraan dengan China. Bagi China sendiri, kemitraan ini menguntungkan karena sejumlah pelaku usaha domestik sudah memiliki pasarnya sendiri, dan mereka [China] bisa memanfaatkan pasar itu,” tuturnya.
Pemerintah, sambung Ambar, seharusnya mulai mewaspadai pola kemitraan antara perusahaan China dan pelaku usaha di dalam negeri, sebab perlahan-lahan akan mulai menggerus penguasaan pangsa pasar domestik. (fh)
Oleh: Maria Y. Benyamin
Sumber : Bisnis Indonesia
------------------------
Kamis, 11/02/2010 20:58:07 WIB
Pelaku usaha desak renegosiasi liberalisasi ACFTA
JAKARTA (Bisnis.com): Para pelaku usaha menilai renegosiasi dalam kerangka liberaliasi pasar Asean – China (ACFTA) bisa memperkecil dampak buruk penurunan daya saing industri manufaktur nasional.
Ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hasanuddin Rachman mengatakan upaya renegosiasi 228 pos tarif sektor manufaktur yang dapat menekan risiko penutupan usaha dan penurunan pangsa pasar akibat banjir impor murah produk-produk China.
“Suka tidak suka, pelaksanaan ACFTA telah berlaku sehingga Indonesia harus ikut terlibat. Namun, mengingat ketidaksiapan dari berbagai sektor usaha, dengan segala risiko, pemerintah mengambil jalan renegosiasi agar industri manufaktur tetap bertahan,” katanya, hari ini.
Sepanjang dasawarsa terakhir, jelasnya, pemerintah gagal mempersiapkan penguatan daya saing industri manufaktur sehingga kian tak berdaya menghadapi gempuran produk impor asal China.
Implementasi liberalisasi pasar Asean – China (ACFTA) yang berlangsung sejak 1 Januari 2010 dinilai semakin memperparah penurunan daya saing, terutama industri padat karya yang relatif berteknologi rendah seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) subsektor garmen, alas kaki, mainan tradisional, dan kerajinan.
Ekonom Universitas Gadjah Mada Mudrajad Kuncoro mengatakan rendahnya daya saing tersebut berimbas pada daya saing ekspor yang terus melemah.Bahkan, kondisi diperparah dengan biaya mengurus kontainer di pelabuhan (tariff handling charge/THC) masih sangat tinggi di kawasan Asean atau sekitar US$90 per kontainer ukuran 22 feet.
Kondisi itu masih ditambah biaya parkir dan pungutan kontainer lewat yang dinilai memberatkan. Selain itu, biaya pungutan-pungutan tak resmi di pelabuhan mencapai 7,5% dari biaya ekspor.
Oleh: Yusuf Waluyo Jati
Sumber : Bisnis Indonesia